Rabu, 10 September 2008

Berkaca pada Instruksi Perpustakaan model Alberta

Pendahuluan
Alberta model merupakan salah satu program literasi informasi yang menekankan pada manifestasi program instruksi perpustakaan. Sejak beberapa dekade yang lalu model-model dari instruksi perpustakaan mulai dikembangkan di beberapa negara seperti Inggris, Amerika, Australia dan di Kanada sendiri. Model ini disebut dengan Model Alberta karena program ini dilaksanakan di yayasan sekolah Alberta Edmonton, Canada. Program literasi ini ditujukan kepada siswa sekolah dengan mengajarkan bagaimana para siswa melakukan berbagai proses penelitian tentang suatu topik tertentu dengan fasilitas-fasilitas yang ada di perpustakaan, dengan asumsi dasar bahwa kecerdasan dan emosional para siswa dapat dikembangkan secara maksimal dengan memberikan kesempatan untuk berkreasi mencari informasi sendiri, sehingga mereka memiliki pengalaman dan kecakapan secara kognitif, maupun afektif. Yang sangat menarik dalam usaha tersebut adalah adanya kolaborasi antara guru dan pustakawan dalam mendidik para siswa di sekolah ini. Inti utama dari instruksi perpustakaan ini adalah memberikan pengertian secara mendalam kepada siswa/pembelajar sehingga mereka mampu menemukan informasi-informasi yang dibutuhkan dan secara praktis memiliki pengalaman bagaimana mereka memperlakukan informasi yang ditemukan.
Model instruksi perpustakaan ini memusatkan perpustakaan sebagai sumber riset yang memberi keluasan dan kesempatan para siswa untuk menemukan hal baru. Para guru dan pustakawan sangat berperan dalam proses ini, dimana lewat pemahaman dan pengenalan yang matang tentang kemampuan siswa, para guru dan pustakawan dapat memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa. Dalam instruksi perpustakaan ini dapat dilihat pola dan perilaku para siswa dalam memperlakukan suatu informasi yang mereka butuhkan dan sesuai dengan topik yang ditugaskan kepada mereka.

Pihak yang terlibat dalam Instruksi Perpustakaan
Beberapa pihak yang terlibat langsung dalam program instruksi perpustakaan ini digolongkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok pendidik yaitu guru dan pustakawan dan kelompok anak didik. Guru dan pustakawan harus bekerjasama dalam menggunakan kelas dan perpustakaan sebagai tempat belajar. Selain itu guru dan pustakawan perlu menyediakan instruksi teknis baik berupa fokus afektif maupun kognitif maupun berupa pemahaman mendalam bagaimana siswa dapat mengalami proses penelitian dengan baik dan fasilitas apa saja yang diperlukan, agar peserta didik memperoleh kesempatan untuk mengenal pengalaman-pengalaman baru yang akan mereka dapatkan dan tentu saja dapat menumbuhkan kepribadiannya sendiri.
Siswa sebagai kelompok pembelajar memiliki tingkat kecerdasan dan pemahaman yang bervariasi, oleh karena itu perlu dibuat intruksi perpustakaan yang sesuai untuk memudahkan penanganan dan evaluasi pencapaian tingkat kognitif, afektif maupun emosional inteligensinya. Sebagai peserta didik, siswa perlu dirangsang dengan berbagai teknik pembelajaran yang dapat merangsang keingintahuan dan memotivasi mereka mengetahui informasi-informasi baru, sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam instruksi perpustakaan siswa akan mendapatkan beberapa tugas yang harus dikerjakan, yaitu :
 Memperoleh topik pembahasan
 Mencari informasi-informasi yang berhubungan dengan topik
 Mengorganisasikan dan memilih informasi yang sesuai dengan topik

Model Alberta dalam Pengajaran Proses Penelitian(Focus on Research)
Dasar dari instruksi perpustakaan adalah agar perpustakaan dapat berperan besar dalam mendidik para siswa menjadi pribadi yang matang secara kognitif dan afektif. Terdapat lima tahap dalam instruksi perpustakaan, yaitu :
 Perencanaan, dalam tahap ini guru dan pustakawan memastikan topik yang akan diberikan kepada para siswa, mengidentifikasi sumber-sumber informasi, mengidentifikasi/mengelompokkan siswa berdasarkan tingkat kemampuan kognitif mereka, membuat langkah evaluasi progres kematangan dan kemampuan siswa mengidentifikasi informasi dan melakukan peninjauan.
Pada tahap Perencanaan, para siswa diberi kesempatan untuk memperoleh suatu gambaran dari keseluruhan proses penelitian; pemahaman komprehensif akan mendukung keberhasilan siswa. Dilibatkannya siswa dalam tahap perencanaan ini sangat krusial, karena akan memudahkan para guru dan pustakawan dalam mengidentifikasi kemampuan dan pemahaman siswa terhadap topik yang diberikan pada mereka dan mengidentifikasi apa saja yang ingin mereka ketahui tentang topik itu, membangkitkan ide-ide tentang sumber informasi yang potensial, dan mendiskusikan pemirsa potensial dan evaluasi kriteria bagi kerja mereka.
Pemilihan topik adalah tugas penting bagi siswa pada tahap ini. Untuk melakukan penelitian dengan baik, siswa harus dapat mengetahui tentang topik itu dan topik itu harus cocok dengan tingkat pemahamannya. Mempunyai pehamanan yang baik atas topik itu akan mengarahkan siswa untk meningkatkan pertanyaan-pertanyaan penelitian dan kategori-kategori bagi penyelidikan. Peneliti muda atau peneliti yang tidak berpengalaman lebih dapat mengendalikan topik-topik pengetahuan umum yang penekanannya pada penemuan fakta-fakta dan pengaturan ide-ide. Siswa sekolah yunior dan menengah baru memulai untuk dapat mengendalikan penalaran abstrak terkait dalam pemfokusan atau penyempitan suatu topik atau untuk peningkatan suatu kertas posisi (Loerke, 1994). Siswa sekolah menengah dapat meningkatkan dan mendukung suatu pernyataan sebagai suatu tesis jika mereka memiliki pengalaman penelitian yang baik pada awal sekolah.
Para guru umumnya telah merencanakan tugas dan parameternya jauh sebelum para siswa mulai mengerjakan tugas itu. Para guru seharusnya mencari topik sehingga siswa terpaksa akan menemukannya secara pribadi dan bahwa siswa dapat berhubungan dengan dunia di luar sekolah. (Tallman, 1998). Untuk topik-topik yang rumit atau tugas-tugas yang memberi pilihan secara luas kepada para siswa, hal ini berarti suatu pengulangan atau daur ulang dari dua tahap pertama dari proses penelitian, sehingga siswa berkesempatan untuk melakukan pembacaan umum, untuk memiliki sumber informasi, dan untuk mengembangkan kepentingan dan perhatiannya. Perhatian pada Penelitian dan banyak model penelitian lain yang memberikan sedikit perhatian pada kerumitan dari tahap awal ini (Anderson, 1994). Kerja yang hati-hati dan penuh pemikiran dibutuhkan di sini untuk memastikan bahwa topik-topik dan pertanyaan-pertanyaan penelitian membutuhkan tingkat ketrampilan berpikir yang tinggi dan bahwa mereka akan menantang siswa dan mengaitkan dengan kepentingan dan keingintahuan mereka. Siswa merasa lebih positif menuju pada kegiatan penyelidikan ketika mereka terlibat dalam pemilihan atau pengembangan topik-topik penelitian; sayangnya ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa siswa di tingkat menengah kemungkinan kurang terlibat dalam menghasilkan topik dan pertanyaan daripada siswa yang lebih muda. (Gross, 1997).

 Penemuan Kembali Informasi, dalam tahap ini guru dan pustakawan memastikan bahwa sumber-sumber informasi yang dibutuhkan para siswa tersedia di perpustakaan, dan melakukan peninjauan.
Pada tahap untuk mendapatkan kembali informasi, siswa memperoleh sumber-sumber informasi yang dibutuhkan. Jika siswa itu muda dan tidak berpengalaman atau informasi dari topik tersebut sulit untuk diakses, pendekatan pos/pangkalan-pangkalan, pengorganisasian materi-materi dengan format atau media, seringkali efektif. Pengetahuan akan alat-alat dan sistem informasi, dan strategi-strategi pencariannya (pendekatan sumber dan pramuka/pathfinder) adalah kritis apabila siswa menemukan sumber-sumber mereka secara mandiri.
Siswa dapat mengalami kelebihan informasi selama tahap ini (Akin, 1998). Para guru seharusnya waspada secara fisik dan psikis shg dapat mengkarakteristikan kelebihan informasi --seperti: rasa marah, frustasi, lesu, mudah marah, gemetar atau mengumpat-- dan membantu para siswa untuk mengenali tanda-tanda overload ini. Sebagai tambahan dalam membantu siswa memahami bahwa perasaan-perasaan tersebut bukanlah bagian yang tidak wajar dalam proses penelitian, para guru seharusnya membantu siswa mengidentifikasi strategi yg berguna seperti menghapuskan atau menyaring (membiarkan atau memilih beberapa kategori informasi tertentu), mengeneralisir atau mencabangkan (memperluas atau mempersempit topiknya), atau meminta bantuan. Aktifitas seluruh kelas atau kelompok kecil terkait dengan pengambilan suatu gambaran yang luas dari topik itu dan sub kategorinya, seperti pemetaan konsep, atau pemutusan apa saja informasi yang mungkin cocok dengan topik itu, adalah strategi yang membantu dalam tahap pengambilan kembali informasi ini, khususnya ketika kelebihan informasi menjadi suatu masalah.

 Pengolahan Informasi, dalam tahap ini guru dan pustakawan melakukan pemilihan informasi yang relevan, pengevaluasian informasi, pengaturan dan penyimpanan informasi, penghubungan dan pengaitan, penciptaan produk, pengubahan dan perbaikan, dan melakukan peninjauan.
Pada tahap pemrosesan informasi, siswa memilih dan menggabungkan informasi yang tepat dengan topik mereka. Ini sebenarnya merupakan dua fase dalam 1 tahap. Setelah memilih dan menyimpan informasi yang tepat, siswa membuat suatu produk penelitian dengan pengorganisasian dan penggabungan informasi mereka ke dalam suatu cara yg unik dan pribadi. Inilah dimana waktu yg ditanamkan dalam perencanaan itu terbayar; siswa yang tidak paham dengan topiknya (suatu fokus topik) tidak dapat memilih informasi yg tepat.
Pada fase pertama: penyimpanan informasi, siswa membutuhkan bantuan untuk mencatat dalam beberapa format. Format itu seharusnya disediakan bagi peneliti yang tidak berpengalaman. Hal ini seharusnya merupakan suatu pencarian terhadap informasi yang tepat, terhadap informasi yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka atau sesuai ke dalam subtopik mereka, tidak mencatat semua yg mereka temukan. Hal ini sering terjadi ketika sumber-sumber elektronik atau mesin fotokopi secara nyata dapat menjadi suatu bahaya bagi proses ini.
Pada fase kedua: membuat informasi, siswa mengorganisasikan dan menggabungkan informasi mereka. Dengan adanya pembicaraan dengan siswa sebelum mereka menulis juga dapat membantu mereka mengekspresikan ide-ide mereka ke dalam kata-kata mereka sendiri. The Focus on Research model terkadang mengalami bias dalam laporan tertulisnya, akan tetapi media lain seperti kartu-kartu dan produk multimedia juga butuh perbaikan (dan petunjuk jika media itu adalah hal yang baru bagi siswa tsb)

 Berbagi Informasi, dalam tahap ini guru dan pustakawan mendiskusikan berbagai hal berdasarkan dengan temuan-temuan yang ada, pendemonstrasian perilaku siswa yang layak, dan melakukan peninjauan kembali

 Evaluasi, dalam tahap ini guru dan pustakawan melakukan evaluasi terhadap program instruksi perpustakaan, mengevaluasi prosedur dan dasar-dasar penelitian siswa, dan melakukan peninjauan terhadap proses yang telah dilakukan

Permasalahan Pustakawan
Elaine Sloan dalam tulisannya ”The Impact of Information Technologies on the Role of Research Libraries in Teaching and Learning In the United States”. Bibliographic Instruction (BI) (biasanya disebut juga dengan Library Instruction) merupakan petunjuk penggunaan perpustakaan yang mengembangkan adanya ide bahwa perpustakaan sebagai pusat pembelajaran (center for teaching). Tujuan utama BI ini adalah mengajarkan penggunanya untuk dapat menggunakan perpustakaan secara efektif. Untuk melaksanakan instruksi perpustakaan seperti diatas pustakawan memikul tugas yang sangat berat tetapi sangat krusial, pustakawan dituntut untuk tidak hanya lihai dalam mengolah materi perpustakaan akan tetapi lebih jauh juga dituntut memiliki skill dan teknik mengajar yang baik. Tragisnya, sampai saat ini masih berkembang anggapan bahwa perpustakaan merupakan tempat buangan bagi para pegawai yang bermasalah. Dari beberapa kasus yang penulis ketahui, terdapat dosen yang merasa tidak mampu mengajar akhirnya minta dipindah di perpustakaan, terdapat dosen yang bermasalah sehingga harus menerima sangsi akademik dicopot dari fungsionalnya sebagai dosen juga diletakkan di perpustakaan, terdapat beberapa karyawan yang sangat tidak disiplin dan tak berprestasi mutasinya di perpustakaan juga, sehingga SDM perpustakaan sangat mengkhawatirkan.
Keadaan SDM ini sangat ironis, bila dihubungkan dengan pernyataan Feret dan Marcinek (1999) yang menyatakan bahwa pustakawan harus berjalan seirama dengan perubahan teknologi yang terus bergerak maju dan pustakawan harus mampu beradaptasi sebagai pencari dan pemberi informasi dalam bentuk apapun. Erlendsdottir (1997) menyatakan bahwa pustakawan bukan lagi sebagai “penjaga” buku, namun adalah information provider di situasi yang terus berubah dimana kebutuhan informasi dilakukan dengan cepat dan efektif. Sekarang misi pustakawan adalah mempromosikan jasa-jasa untuk informasi yang terus membludak. Dan bahkan jika pustakawan tidak juga mau berubah, teknologi informasi akan mengubah tugas pustakawan.
Lebih jauh menurut Putu (2008) di dunia pendidikan tinggi, literasi informasi merupakan serangkaian keterampilan yang bersifat generik dan dapat diterapkan di segala bidang ilmu. Pustakawan dan penyelenggara pendidikan memberikan program-program dasar bagi para mahasiswa baru, agar mereka dapat mengembangkan diri lebih lanjut di sepanjang masa belajar mereka. Sama dengan di sekolah menengah, program-program literasi informasi di perguruan tinggi juga merupakan keterampilan mencari, menemukan, dan menggunakan informasi sebagai keterampilan teknis.

Penutup
Instruksi perpustakaan sangat bermanfaat bagi pengguna untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan afektifnya. Lewat longlife learner yang dimanifestasikan dengan kemampuan seseorang memahami, mencari, mendapatkan, mengolah dan memanfaatkan informasi secara efektif, peran perpustakaan berada pada status tertinggi dalam memberikan wisdom (kebijaksanaan) terhadap penggunanya, sehingga peran perpustakaan sangat strategis. Sebagai tempat dimana terdapat banyak sekali informasi tentang pengetahuan dan sumber-sumber informasi lainnya, perpustakaan tidak hanya dicap sebagai tempat yang harus dijunjung tinggi, sehingga acapkali perpustakaan diletakkan di lantai yang paling atas dalam suatu bangunan instansi bertingkat, dan sangat metafora karena perpustakaan akan sulit dijangkau dan pengguna akan malas memanfaatkannya.
Instruksi perpustakaan akan berjalan dengan efektif manakala terdapat sinergi dari berbagai pihak antara lain dari badan induk, pustakawan, guru, karyawan, dan penggunanya. Berkaca pada instruksi perpustakaan yang dikembangkan oleh sekolah Alberta, perpustakaan-perpustakaan di Indonesia dapat meniru atau mencontoh teknik-teknis yang dilakukan, memang sangat ironis, bahwa di Alberta siswa-siswa sekolah sudah diajarkan bagaimana menangani dan memperlakukan informasi secara efektif tersebut, sedangkan di Indonesia perpustakaan perguruan tinggipun hanya sedikit yang melakukan kegiatan instruksi perpustakaan. Kegiatan yang lazim dilakukan hanya berkisar pada pengenalan dasar perpustakaan yang dilakukan setiap tahun ajaran baru (dengan user education), membuat buku pedoman perpustakaan, serta daftar koleksi yang dimilikinya ansich.

Tidak ada komentar: