Senin, 15 Desember 2008

Pustakawan rujukan sebagai intermediary

Dalam dunia perpustakaan layanan rujukan merupakan bagian dari layanan pembaca yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam memberikan layanan/jasa terhadap kebutuhan informasi pemustaka. Jasa tersebut biasanya dimanifestasikan dengan usaha-usaha maksimal sebagai bentuk responsif atas pertanyaan dan kebutuhan mendapatkan sebuah informasi seperti melakukan penelusuran untuk menemukan sumber informasi maupun kandungan informasi yang dibutuhkan pemustaka, secara efektif, efisien dan terpercaya. Pengukuran terhadap performance jasa layanan rujukan tidak hanya dapat dilakukan dengan parameter sejauh mana ketepatan jawaban atas pertanyaan pemustaka, namun sebenarnya lebih jauh lagi layanan rujukan bahkan berfungsi sebagai pelayanan konsultasi atas penelitian-penelitian yang dilakukan pemustaka dengan cara memberikan panduan maupun saran-saran konstruktif terkait dengan proses dan strategi penelusuran akan keberadaan sumber informasi dan informasi yang relevan dengan tema penelitian pemustaka.
Dengan perkembangan teknologi informasi dewasa ini peran pustakawan rujukan mengalami perkembangan yang menarik, yaitu suatu perkembangan performence layanan dengan menyesuaikan situasi riil yang diakibatkan dari dampak banjirnya informasi, khususnya dengan informasi-informasi yang terekam dalam dunia web maupun oleh banyaknya search engine yang tersedia. Pustakawan layanan rujukan merupakan jembatan atau mediator yang menghubungkan antara pemakai perpustakaan (pemustaka) dan informasi. Dengan membanjirnya informasi seperti saat ini pustakawan rujukan harus berupaya untuk melakukan perubahan paradigma layanan, dikarenakan informasi-informasi yang dikemas sekarang ini begitu dekat dan mudah didapatkan. Namun mudah didapat tidak berarti layak sebagai sumber informasi dan menyadapnya sebagai bentuk sitiran tanpa melihat dan mengevaluasi informasi yang diperolehnya tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi tidak atau kurang bermanfaat, karena sumber dari informasi tersebut tidak kredibel, atau tidak memiliki otoritas yang kuat. Dalam ranah seperti kasus inilah peranan pustakawan rujukan menjadi sangat penting dan dipertaruhkan. Menurut Grogan (1991:53-54), hal-hal vital yang perlu diperhatikan oleh pustakawan rujukan menyangkut beberapa aspek, yaitu : pertama masalah informasi apa yang dihadapi pemustaka, kedua bagaimana kebutuhan informasi pemustaka, ketiga pertanyaan-pertanyaan dalam menggali lebih dalam terhadap informasi yang benar-benar sesuai dengan pemustaka, keempat penanganan dalam melakukan prosedur dan pola penelusuran, kelima memberikan jawaban dan tanggapan atas informasi dan sumber informasi kepada pemustaka.

Adakah Pustakawan Rujukan
Pembicaraan tentang peran pustakawan rujukan sebagai perantara/intermediary mendatangkan konsekwensi logis bahwa pustakawan ini dituntut untuk memahami dan mengenal betul dengan seluk beluk informasi, penanganan terhadap informasi tersebut dan bagaimana mendapatkan informasi serta dimana informasi tersebut berada. Berbagai pemikiran tentang peran pustakawan sebagai perantara (intermediary) telah banyak didiskusikan oleh banyak ahli, Meadow (1992) menjelaskan bahwa intermediary merupakan usaha konsultasi bagi pemustaka untuk mendapatkan informasi yang dubutuhkannya. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebagai agen mediasi/perantara pustakawan rujukan perlu memiliki keahlian dan ketarampilan khusus, diantaranya adalah memahami database yang ada, mengetahui isi dan struktur database, mengetahui prosedur penelusuran dan komunikasi, mengetahui dan dapat menggunakan fungsi-fungsi postprocessing, dan memiliki keterampilan berkomunikasi untuk mendapatkan keinginan pemustaka yang sebenarnya dari informasi yang dibutuhkannya.
Ada beberapa pandangan riil menyangkut pustakawan rujukan dan koleksi-koleksi referensi. Selama ini dalam pandangan penulis, nampaknya pada beberapa (untuk menghindari penyebutan banyak) perpustakaan perguruan tinggi, keberadaan pustakawan rujukan hampir tidak ada. Kalaupun ada peranan atau andil terhadap kebutuhan informasi pemustaka sangat minim. Pandangan ini akan banyak ditemukan di berbagai perpustakaan, baik dilihat dari aspek staf yang ditempatkan disana ataupun lokasi koleksi referensi tersebut berada. Padahal sebenarnya pustakawan rujukan merupakan basis utama dari pelayanan prima yang seharusnya ada dalam sebuah perpustakaan, serta menjadi ruang sentral dimana pemustaka dapat dengan mudah meminta bantuan dari hanya sekedar bertanya tentang informasi umum sampai pada meminta bantuan untuk mendapatkan informasi secara spesifik. Yang menjadi ironi adalah bahwa kebanyakan yang bertugas di koleksi rujukan hanyalah staf administrasi biasa dan bertanggungjawab terhadap sirkulasi koleksi referensi tersebut. Selain itu lokasi koleksi referensi biasanya juga belum ditempatkan secara proporsional. Sebagai barometer layanan perpustakaan seharusnya koleksi ini ditempatkan di lokasi yang paling strategis, bukan di lokasi dimana seorang pemustaka menjadi malas memasukinya.
Dalam era teknologi informasi seperti dewasa ini, pertanyaan-pertanyaan umum yang biasanya ditujukan kepada pustakawan rujukan, oleh pemustaka seringkali sudah dialihkan kepada bentuk pencarian informasi lewat search engine (mesin pencari) di internet. Bahkan informasi-informasi secara spesifik juga sudah dapat dihandle oleh kekuatan dan kepintaran search engine ini. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah koleksi referensi dalam bentuk tercetak dengan demikian benar-benar ditinggalkan pemustaka? Dan bagaimana dengan peran pustakawan rujukan?
Dalam wawancara singkat dengan pustakawan rujukan di UPT perpustakaan UI pada waktu yang lalu dapat dilaporkan bahwa, pemanfaatan oleh pengguna di UPT Perpustakaan terhadap koleksi referens bervariatif (sampai pada wawancara ini jumlah koleksi referensi berjumlah 6910 judul/7832 eksemplar). Hal ini dapat dilihat dari setiap melakukan reserve (penyimpanan) kembali ke rak), menurut pustakawan yang ada di ruang referens ini, setiap harinya dilakukan pendataan koleksi yang digunakan, dengan mendata koleksi yang ada dimeja. Pada statistik penggunaan koleksi referens dapat disimpulkan bahwa secara garis besar (menurut kelasnya) semua koleksi dipergunakan setiap bulannya. Meskipun secara spesifik tidak disebutkan identitas bukunya (judul maupun pengarangnya), melainkan kelas buku secara umum.
Dari data statistik tersebut, terlihat bahwa koleksi referens kurang dimanfaatkan oleh pengguna. Rata-rata jumlah buku yang dimanfaatkan perbulan reratanya 30 judul, sehingga bila dihitung rata-rata per hari hanya 10 judul. Apabila dibandingkan dengan jumlah pengunjung perpustakaan yang rata-rata perhari mencapai 2000 orang, maka pemanfaatan koleksi referens sangat tidak optimal.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pustakawan referens dan sejumlah pemustaka, kurang dimanfaatkannya koleksi referens ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1. Koleksi referens yang ada di Perpustakaan UI kurang up-to-date. Banyak ensiklopedi, kamus dan bahan rujukan lain yang edisi barunya sudah ada di pasaran, tetapi yang dikoleksi oleh perpustakaan adalah edisi lama. Seperti The New Encilopedia Brittanica yang sudah ada edisi 2007, tetapi yang dimiliki oleh perpustakaan adalah edisi 1998.
2. Beralihnya pemakai ke sumber online. Untuk pertanyaan rujukan sederhana, pemustaka lebih cenderung memanfaatkan sumber-sumber online yang cukup banyak tersedia dan mudah diperoleh.
3. Kurangnya promosi layanan referens. Ini terlihat dari promosi yang ada di lantai dasar, yang lebih menonjolkan koleksi database online dibanding koleksi yang tercetak, termasuk di dalamnya koleksi referens. Demikian halnya dengan koleksi CD-ROM yang masuk koleksi referens sangat jarang dimanfaatkan karena pengguna tidak tahu adanya koleksi tersebut. Juga tidak terlihat adanya terminal yang dapat digunakan untuk memanfaatkan kolesi CD-ROM tersebut. Disamping itu, koleksi CD-ROM ditempatkan di tempat yang kurang strategis dan tidak terlihat oleh pemustaka.
4. Letak koleksi referens yang sulit di jangkau. Idealnya koleksi referens berada di lantai dasar atau dibagian depan dari perpustakaan, sehingga layanan ini dapat secara cepat diperoleh oleh pemustaka. Layanan rujukan merupakan layanan informasi singkat yang pemustaka membutuhkan jawaban yang singkat, jelas dan cepat.

Akankah posisi pustakawan rujukan akan tergeser oleh search engine?
Ledakan informasi akibat perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang terjadi dewasa ini menyebabkan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, akibatnya kebutuhan pemakai perpustakaan terhadap kebutuhan akan informasi juga mengalami peningkatan yang signifikan. Situasi seperti ini harus dapat diantisipasi oleh perpustakaan dalam melakukan identifikasi terhadap kebutuhan informasi dari pemakai, perpustakaan tidak dapat lagi bersikap pasif menunggu pemakai tetapi harus secara aktif mampu menawarkan informasi yang sesuai dengan minat pemustaka dan memberi kemudahan akses ke berbagai sumber informasi. Kehadiran internet apakah dipandang sebagai ancaman terhadap peran pustakawan rujukan? Menurut Siecert, 1998:245) seperti yang diungkapkan oleh Mirmani dalam salah satu penelitiannya, tidak semua pustakawan bersikap positif terhadap perkembangan teknologi ini, sikap ini muncul dari rasa kehwatiran yang dapat membawanya pada sifat defensive behaviour (tingkah laku bertahan), termasuk gejala fisik, juga rasa takut yang disengaja atau kekacauan dalam diri. Internet adalah belantara informasi yang luas dan seakan telah menjadi dunia paralel dari dunia fisik manusia sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Hardi, Harriet Shalat, seorang pustakawan rujukan di New York Public library Amerika Serikat mengungkapkan , saat ini sudah terbentuk pandangan di mata publik Amerika yang mengasumsikan bahwa sesuatu yang tidak dapat ditemukan di internet berarti memang tidak eksis.
Tantangan yang paling menonjol bagi pustakawan rujukan adalah upaya-upaya mengantisipasi membanjirnya informasi ini, bukan tidak mungkin banyaknya informasi yang mudah diakses malah mengakibatkan sampah informasi dan tidak berguna sama sekali. Karenanya pustakawan rujukan sebagai fasilitator antara pemustaka dan keberadaan informasi perlu melakukan semacam saringan atau filterisasi terhadap pola pencarian informasi di internet yang bertanggung jawab dan efisien.
Secara konvensional selama ini pustakawan rujukan memiliki beberapa tugas layanan seperti :
a. Layanan Informasi
o Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum atau informatif
o Memperkenalkan koleksi referensi dan informasi yang terkandung di dalamnya serta cara pemanfaatannya.
b. Bimbingan
o Membantu memilih bahan-bahan referensi yang sesuai dengan kebutuhan pemustaka
o Menganjurkan jenis-jenis bahan bacaan yang sesui dengan kebutuhan pemustaka, baik dari segi pendidikan, jenis kelamin, maupun dari segi umur
o Menyelenggarakan pameran
o Menyelenggarakan orientasi perpustakaan
o Menyusun path finder (buku pedoman yang berisi buku-buku rujukan dalam bidang kajian tertentu di perpustakaan tertentu, disertai dengan kelemahan dan kekurangannya).
o Jasa pengikdeksan dan abstrak
o Memberikan jasa referal
o Dan lain-lainnya
Dalam hal ini, jasa dan layanan pustakawan rujukan meliputi, pemberian informasi umum, penyediaan informasi khusus, bantuan penelusuran literatur, bantuan penggunaan katalog, dan bantuan penggunaan buku referen. Oleh karena itu pustakawan rujukan dituntut untuk memiliki kemampuan dalam berinteraksi dan melangsungkan komunikasi yang intensif dengan pemustaka. Menurut standar RUSA (2003), pustakawan rujukan harus memiliki persyaratan sebagai berikut : approachability (mampu melakukan pendekatan secara intensif terhadap pemustaka), interest (memiliki kepedulian dan minat yang tinggi terhadap informasi), listening/inquiring(memiliki kesediaan untuk mendengarkan dengan baik terhadap permasalahan yang dialami oleh pemustaka), searching (memiliki kemampuan untuk melakukan penelusuran terhadap sumber-sumber informasi), follow up (memiliki kepedulian untuk terus melakukan usaha tindakan lanjut terhadap sumber informasi yang dibutuhkan pemustaka).
Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi memberikan konsekwensi logis bagi pustakawan rujukan untuk meningkatkan pelayanannya dengan menawarkan jasa seperti jasa penelusuran terpasang (online searching). Perpustakaan sebagai pusat informasi baik tercetak maupun virtual/elektronik, mau tidak mau harus mengikuti perkembangan teknologi informasi ini. Kecenderungan pemustaka sekarang ini dengan melihat maraknya pemustaka yang mengakses internet ketimbang melakukan pencarian informasi di sumber-sumber informasi tercetak, merupakan fenomena yang tak bisa dihindari. Meskipun disatu sisi apakah internet sudah mewakili kehausan pemustaka dalam memenuhi kebutuhan akan informasinya merupakan sesuatu hal lain yang perlu dikritisi.
Saat ini banyak orang yang berpikir bahwa Google dan wikipedia bisa menjawab semua kebutuhan yang diperlukan dalam riset. Google memang menawarkan pencarian dengan perolehan yang sangat cepat, dan banyak khalayak yang menjadi sangat ketergantungan terhadap Google. Sebenarnya search engine seperti Google tidak dilengkapi filter dalam pengumpulan informasi yang diinginkan oleh pengguna. Menurut Hardi dalam salah satu tulisannya disitir bahwa ketika Google melakukan penelitian pada tahun 2002 hasil yang didapatkan adalah bahwa ternyata hampir 85% pengguna Google hanya melihat hasil perolehan search engine pada halaman pertama saja. Memang pada hekekatnya Google, dan search engine lainnya dan juga wikipedia bukanlah alat satu-satunya untuk melakukan penelitian secara akademik. Namun tempat dan sumber yang paling relevan untuk melakukan penelitian adalah perpustakaan. Apalagi sekarang ini perpustakaan-perpustakaan sudah mulai mengembangkan perpustakaan digital, local content sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang berkelanjutan merupakan dasar dan pijakan sumber informasi yang paling baik dan relevan. Hal ini disebabkan bahwa dengan menggunakan kata kunci tertentu untuk mencari topik pada search engine, sering mendapatkan informasi yang seringkali bias, apalagi halaman web selalu berubah setiap waktu, informasinya juga tidak sepenuhnya valid. Jadi search engine seharusnya digunakan sebagai alat bantu dan pelengkap dalam melakukan penelitian.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa search engine merupakan wahana baru yang sangat urgen dalam pengelolaan informasi di perpustakaan. Search engine saat ini banyak digunakan oleh pustakawan rujukan sebagai sarana penelusuran informasi. Menurut Hardi, ada dua keahlian sebagai syarat mutlak daam menggunakan fasilitas search engine ini, pertama dapat mengartikulasikan strategi penelusuran dari sisi pemilihan istilah, penggabungan konsep maupun sintaksisnya. Kedua, mengetahui pilihan search engine yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan informasi yang dicarinya. Dengan demikian pustakawan rujukan dan search engine merupakan senyawa yang saling berkolaborasi dalam memberikan informasi seluas-luasnya serta sangat efektif kepada pengguna.
Kesimpulan
Pustakawan rujukan dalam kapasitasnya sebagai perantara/intermediary antara pemustaka dan informasi memainkan peranan yang sangat penting. Pencarian berdasarkan printed materials maupun elektronik seperti dewasa ini tetap melibatkan peran pustakawan rujukan. Meskipun ada kecenderungan pencarian informasi oleh pemustaka terhadap informasi secara elektronik sangat meningkat, namun informasi-informasi dalam printed materials tidak dapat ditinggalkan. Bahkan tanpa didasari oleh keahlian dan kecakapan pemustaka terhadap pola pencarian informasi di internet secara benar, pemustaka bisa tersesat dalam lautan informasi yang tersedia. Disinilah pustakawan rujukan akan selalu bisa memainkan peranan pentingnya dengan memberikan saran-saran dan konsultasi kepada pemustaka dengan memberikan pola-pola pencarian yang bermanfaat, efektif, efisien dan bertanggung jawab.
Dampak yang ditimbulkan akibat perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dengan maraknya informasi dalam web dan tersedianya banyak search engine, kedudukan pustakawan rujukan tidak dapat dihilangkan. Bahkan akibat perkembangan yang baik ini pustakawan rujukan dituntut untuk meningkatkan performanya dalam memberikan jasa dan layanan kepada para pemustaka. Oleh karenanya kemampuan pustakawan rujukan untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi perlu ditingkatkan dengan mewujudkan literate person, baik literate dalam media, dalam komputer, dan lain-lainnya. Dengan demikian meskipun dalam pandangan penulis peranan staf perpustakaan di ruang referensi sangat tidak maksimal, usaha untuk memantapkan peranan pustakawan rujukan yang ideal akan menghasilkan informasi-informasi sebagai layanan rujukan kepada pemustaka akan lebih valid, terpercaya dan penuh otorisasi







Daftar bibliografi

1.Beni, Romanus, (1998). Peran Pustakawan sebagai Intermediary Dalam Penelusuran Terpasang (On Line Searching); Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan, 1 (1) September

2.Grogan, Denis, (1991) Practical Reference work, london : Library Association Publihing

3.Hardi, Wisnu, Mengukur kinerja search engine ,http://72.14.235.132/search?q=cache:-G6eiBrhifoJ:eprints.rclis.org/archive/00011208/01/Search_engine_article.pdf+%22pustakawan+rujukan%22&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id, diakses pada tanggal 6 Desember 2008

4.Meadow, Charles T. (1992). Text Information Retrieval System.San Diego: Academic Press.

5.Mirmani, Anon. (199). Pemanfaatan dan Dampak Teknologi Komputer Terhada Jasa layanan Informasi:Suatu sikap dan Tanggapan PustakawanPerguruan Tinggi. Lembaga Penelitin UI

6.Reference and User ServiceAssociation.(2003)”professional Competencies for Reference and and user service. http//www.ala.org.ala/rusa/professionaltolls/referenceguidline/ALAprofessionalcompetenciesforreferenceanduserservice.htm, diakses pada tanggal 6 Desember 2008

Selasa, 16 September 2008

LITERASI INFORMASI : SEBUAH PROSES MENANGANI INFORMASI

Pendahuluan

Dampak dari perkembangan teknologi informasi adalah mengakibatkan ledakan informasi, setiap orang dapat menerima informasi apa-pun, kapan-pun dan dari mana-pun tanpa batas. Untuk itu setiap orang perlu mempunyai pengetahuan dalam mencari dan memperoleh informasi yang mereka terima supaya bisa memenuhi kebutuhannya. Agar proses pemenuhan kebutuhan akan informasi berhasil dengan baik baik, maka sangat perlu seseorang memahami tentang literasi informasi (information literacy) yang juga diartikan kemelekan informasi.
Banyak definisi tentang literasi informasi digunakan oleh para pakar, dalam pengertian yang sederhana, literasi informasi sebagai kemampuan untuk mengakses, menilai dan menggunakan informasi dari berbagai sumber. Dan dari banyak pengertian lainnya, dilihat dari segi peningkatan ketrampilan literasi informasi dasar dengan cara yang canggih dalam memahami serta menggunakan informasi dengan mengetahui bagaimana mentukan lokasi informasi serta mengaksesnya dan mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi tersebut.

Pembahasan
Bersumber dari Information Skills in the School. Ryde: Departemen of Education, 1989, halaman 8 tentang The Information Proses, tahap-tahap ketrampilan literasi informasi yang harus dimiliki oleh pencari informasi melalui proses : Mendefinikan informasi ; Menempatkan lokasi informasi ; Memilih Informasi ; Mengorganisasi Informasi ; Mempresentasikan Informasi ; dan Mengases Informasi
Selanjutnya dalam paparan pembahasan penulis akan membahas proses informasi di atas yang menjadi fokus pembahasannya sesuai dengan topik yang diberikan sebagai tugas dalam makalah ini.

1. Mendefinikan informasi
Mendefinisikan informasi disini dimaksudkan adalah bagaimana kita dalam mencari informasi dapat benar-benar mengetahui apakah informasi yang dicari itu adalah yang dibutuhkan untuk menjawab dan membantu dalam menyelesaikan tugas atau keperluan akan suatu informasi. Untuk itu diperlukan ketrampilan dan kemampuan untuk benar-benar mengetahui apa kegunaan informasi itu bagi pencari informasi sehingga tidak sia-sia namun informasi itu akan bermanfaat baginya. Oleh karena itu perlu dipertanyakan sebelum mengambil keputusan mengapa membutuhkan informasi tentang sesuatu tersebut sehingga memunculkan alasan yang tepat.
Mendefinisikan informasi, dalam model literasi informasi lain sering pula dilaksanakan dalam proses pengidentifikasian informasi dimana dalam proses ini pencari informasi harus mampu memberi definisi dan mengidentifikasikan topik atau subyek, menentukan dan memahami sasaran penyajian, menetapkan format yang sesuai dengan rencana yang dipikirkan. Mengetahui masalah yang penting dengan mendasarkan pada analisis parameter dan merumuskan jawaban atas permasalahannya dengan solusinya. Dengan demikian dapat menentukan semua kemungkinan berdasarkan sumber-sumber yang tersedia.

2. Menempatkan lokasi informasi
Pertanyaan bagi semua pencari informasi pada saat membutuhkan informasi adalah dimanakah saya dapat menemukan informasi yang saya butuhkan ? bagaimana saya mengetahuinya ? maka pengetahuan dalam mengidentifikasi berbagai jenis sumber informasi perlu dipahami oleh pencari informasi untuk mengetahui dimana informasi tersebut dapat ditemukan kembali.
Dengan menempatkan lokasi sumber yang sesuai dengan topik atau subyek maka akan mudah menemukan informasi yang sesuai tersebut. Dan juga dalam kegiatan menempatkan lokasi ini adalah pengetahuan apa saja sumber-sumber informasi tersebut dan adalah sarananya untuk dapat menemukan informasi itu perlu dipahami bagaimana cara menggunakannya oleh pencari informasi.
3. Memilih Informasi
Proses memilih informasi ini dilakukan dengan cara pencari informasi memilih informasi yang relevan, sehingga informasi yang dibutuhkan akan dapat digunakan tidak membiarkan informasi. Pencari informasi menentukan sumber mana yang sesuai atau tidak, terlalu mudah dan terlalu sulit. Informasi yang di dapat apakah bisa dipercaya ? Dan pencari informasi dapat mencacat informasi yang relevan dengan cara membuat catatan atau membuat rekaman dan pengorganisasian visual seperti grafik, bagan, carta, dan lain-lain yang sesuai dengan kebutuhan.

4. Mengorganisasi Informasi
Informasi yang beragam dan bermacam-macam perlu dipilah-pilah sehingga dapat dibedakan antara fakta, pendapat, gosip atau informasi sampah sehingga nantinya dapat digunakan informasi itu dengan baik. Pencari informasi yang paling tahu tentang kecukupan informasi yang akan digunakan, apakah akan menggunakan semua informasi yang ada atau tidak.
Informasi dapat digabungkan untuk dari berbagai sumber yang tidak sama. Dengan pembelajaran dapat mengecek ada tidaknya bias dalam sumber, mengatur informasi yang diperoleh dalam urutan yang logis dan menggunakan pengorganisasian visual untuk membandingkan atau membuat kontras informasi informasi yang diperoleh.

5. Mempresentasikan Informasi
Pada proses ini, pencari informasi telah mendapatkan apa yang diperoleh informasi dan setelah berasimilasi, maka dapat berbentuk informasi baru yang dapat disebarluaskan dalam format yang berbeda dari aslinya. Oleh sebab itu
Kini dibutuhkan cara bagaimana memberikan informasi itu dengan mempraktekkan aktivitas penyajian dengan berbagai informasi dengan orang lain atau pihak yang sesuai.
Mempresentasikan disini berarti pula memaparkan informasi dalam format yang tepat dan menyusun informasi dengan menggunakan peralatan yang sesuai kepada siapa informasi ini disampaikan sehingga menarik perhatian. Bila informasi ini dapat disampaikan dengan mudah dan jelas kepada penerimanya berarti berhasil. Untuk itu diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan dalam berkomunikasi, berhubungan dengan orang dan mempromosikan akan sesuatu informasi.

6. Mengases Informasi
Dengan mengases informasi, kita dapat menilai apa yang harus dipelajari dari informasi ini, dalam setiap tahap dari proses informasi dapat menerima masukan dari orang lain atau audien dimana informasi ini disampaikan sehingga kita mendapatkan tanggapan asesmen dari suatu karya yang dihasilkan. Dan untuk merefleksi seberapa jauh keberhasilan yang telah mereka lakukan, sehingga dapat menentukan apakah masih diperlukan ketrampilan baru dan dapat mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Dari penjelasan secara singkat mengenai proses informasi dalam literasi informasi di atas maka dapat kita kaitkan dengan kegiatan pencari informasi dalam hal ini tentunya dalam dunia pendidikan yaitu siswa atau mahasiswa didalam proses pembelajarannya dibutuhkan kemandirian atas pemahaman informasi-informasi yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan studi yang ditempuh. Untuk memahami informasi secara cepat, tepat dibutuhkan suatu bentuk ketrampilan.
Dengan ketrampilan literasi informasi yang dimilikinya, maka siswa dan mahasiswa dapat:
 Sadar dan mengetahui akan kebutuhan informasinya dan secara aktif mengikuti perkembangan informasi.
 Menumbuhkan rasa percaya diri dalam kemampuan memecahkan masalah dan tahu informasi yang relevan dengan hal itu.
 Mampu mengelola dan mengakses perangkat teknologi dan berkomunikasi,
 Mampu bekerja sama dengan nyaman dalam situasi dimana terdapat jawaban jaman atau perbedaan.
 Memegang teguh dengan standar yang tinggi dalam pekerjaannya serta menciptakan produk yang berkualitas.

Selain itu, dalam literasi informasi ketrampilan yang mestinya dimiliki oleh pencari dan pengelola informasi dapat pula mengenal kebutuhan informasi dengan :
1. Mengetahui cara menguasai gap informasi.
2. Membangun strategi pencarian informasi.
3. Menemukan dan mengakses informasi
4. Membandingkan dan mengevaluasi informasi
5. Mengorganisasikan, mengaplikasikan, dan mengkomunikasikan informasi
6. Mensistesis dan menciptakan informasi.

Ketrampilan-ketrampilan tersebut diatas harus ditunjang dengan ketrampilan pokok yang perlu dimiliki siswa atau mahasiswa yaitu kerampilan dasar tentang pemberdayaan perpustakaan dan pengetahuan serta penggunaan teknologi informasi. Karena perkembangan jaman yang demikian dinamis dan sangat cepat hanya bisa diikuti dengan penguasaan literasi informasi yang didukung oleh teknologi informasi. Dengan demikian urgensi pembekalan kemampuan literasi di lingkungan pendidikan utamanya di perguruan tinggi menjadi tidak bisa ditunda-tunda lagi agar menciptakan generasi yang literat.

Penutup

Melek informasi dapat diraih dari berbagai macam sumber dan bentuk. Kita bisa meraih berbagai macam informasi dari bangku sekolah atau kuliah, diskusi dan seminar, koran, majalah, bahkan pada percakapan sederhana yang tercipta dari dua orang yang saling berinteraksi satu sama lain. Informasi yang tersaji juga dapat diterima dalam berbagai bentuk, seperti bentuk tercetak misalnya buku teks, majalah, indeks, abstrak, buku rujukan, buletin, dan sebagainya. Dalam bentuk elektronik, dapat ditemukan pada internet, file digital, rekaman suara, bahkan dalam bentuk mikro seperti microfilm dan microfische.

Literasi informasi bukanlah hanya sekadar tahu mengenai berita-berita artis dalam dan luar negeri, dan bukan pula melek hanya terhadap trend-trend baru gaya berpakaian. Tetapi yang lebih diterapkan di sini adalah menyerap informasi yang berujung pada penambahan pengetahuan dan pemanfaatan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan ini bisa didapat dari berbagai bidang seperti bidang kedokteran, fisika, geografi, bahasa, kesenian, ekonomi, sosial, politik, bahkan hingga bidang pertahanan dan keamanan. Informasi yang didapatkan dari berbagai macam bidang ini, diharapkan dapat menambah khazanah pikiran manusia yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia kelak. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dikatakan benar-benar mengerti literasi informasi apabila ia dapat memahami dan mengaplikasikan informasi yang ia dapatkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembentukan generasi literat harus ditanamkan mulai usia dini (masa-masa prasekolah dan sekolah) hingga akhirnya usia dewasa. Sebab, generasi muda yang telah terbiasa dengan ‘melek informasi’ dapat dijadikan andalan kuat dalam membangun sebuah bangsa yang maju kelak. Hal ini dapat dipertegas dengan melengkapi berbagai sumber informasi yang ada pada tiap-tiap perpustakaan hingga pencanangan gerakan literasi informasi pada program belajar mengajar di sekolah dan perguruan tinggi..


















Sumber Bacaan



Bhandary, Krishna Mani - Librarian, TUCL. Information Literacy and Librarian's
Role. Sumber: http://www.tucl.org.np/infliteracy.htm

Information Literacy Models and Ainquiry Learning Models.
Sumber: http://ictnz.com/infolitmodels.htm.

Literasi Informasi
Sumber:http://yeni051187.multiply.com/journal/item/6/Information_liter acy_and_how_to_create_a_literate_generation_survival_ways_to_face_the_globalization_of_information

Sulistyo-Basuki, Kemelekan Informasi (Information Literacy) bahan kuliah.

The Big 6: Information Problem Solving Model
Sumber:http://www.librarianonfire.com/projects/informationliteracy/big6_presentation2.htm

The information process.
Sumber: http://www.neutralbayp.schools.nsw.edu.au/library/infoproc.htm
The Information Process – Checklist
Sumber: http://www.asla.org.au/pubs/ws/accommat2.htm

Rabu, 10 September 2008

PENILAIAN NILAI ARSIP DAN PERUMUSAN JRA (JADWAL RETENSI ARSIP) UNTUK PELESTARIAN DOKUMEN (kasus arsip Program Pascasarjana IAIN Walisongo)

I. Pendahuluan
Volume arsip akan terus meningkat dari waktu ke waktu akibat adanya perkembangan dan keberlangsungan kegiatan tugas pokok dan fungsi suatu organisasi yang menciptakannya. Jumlah arsip yang terus bertambah akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang bisa sangat membahayakan atau menjadi onggokan sampah jika tidak dilakukan penanganan yang baik dan standar. Ancaman dan bahaya tersebut ditimbulkan karena di dalam arsip tersimpan semua memori bisnis dan seluruh kegiatan-kegiatan operasional, sehingga pengelolaan arsip merupakan hal yang sangat penting dan merupakan keniscayaan. Maka untuk kepentingan peningkatan efisiensi operasional, mau tidak mau arsip harus disusutkan.
Penanganan arsip perlu dilakukan dengan metode atau pendekatan tertentu, sehingga diperlukan analisis yang mendalam agar arsip-arsip dapat terpelihara dan memberikan manfaat yang maksimal bagi organisasi pembuatnya maupun pengguna lain sebagai bahan informasi yang mendukung dan sangat penting. Penyusutan arsip dilakukan setelah dilakukan penilaian terhadap nilai arsip. Arsip yang memiliki nilai guna rendah atau bersifat informasi biasa dapat segera dilakukan pemusnahan. Arsip dengan nilai informasi yang cukup tinggi dapat dipertahankan dan disimpan bahkan dilestarikan secara permanen, sebab berguna sebagai sumber sejarah, penelitian dan sebagainya.
Jadwal retensi arsip (JRA), merupakan salah satu teknis/metode yang biasa diterapkan dalam dunia kearsipan, JRA ini merupakan tahap analisis untuk membuat keputusan sampai kapan suatu arsip harus disimpan, atau jika diistilahkan dengan kehidupan maka dalam kegiatan JRA inilah penentuan daur hidup arsip dilangsungkan. JRA merupakan kegiatan manjemen kearsipan yang dipandang sangat berat karena disinilah keberlangsungan arsip ditentukan.

a. Latar belakang
Persoalan kearsipan di Program Pascasarjana IAIN Walisongo merupakan masalah yang perlu ditangani dengan segera. Selama ini arsip yang dihasilkan tidak pernah dilakukan pengelolaannya, sehingga berkas-berkas arsip hanya tersimpan tanpa pengendalian atau memakai alat kontrol/kendali. Biasanya arsip di Program ini disimpan dalam dua bagian umum, yaitu pertama arsip-arsip yang berkenaan dengan keuangan disimpan di bagian bendahara, dan kedua arsip-arsip dalam skala luas yang dihasilkan dari kinerja program, baik mengenai arsip yang muncul dari kegiatan pimpinan, kesekretariatan, perpustakaan, bahkan sampai pada ijazah, nilai transkrip dan arsip-arsip penting lainnya disimpan di bagian kesekretariatan. Maka yang terjadi adalah adanya penumpukan filing berkas arsipyang sangat besar, sehingga ketika suatu informasi dibutuhkan memerlukan waktu yang relatif lama untuk menemukannya kembali. Kendali tradisional yang dipakai hanya berdasarkan nomor pokok surat yang dibuat secara tahunan sehingga subyek/bidang kegiatan tertentu yang sama akan menyebar atau terpencar di filing berkas-berkas tersebut. Oleh karena itu, penyusutan arsip dan penilaian (appraisal) terhadap nilai guna arsip yang ada perlu dilakukan segera.
Sebuah penelitian di Australia dan Amerika Serikat menyatakan bahwa arsip statis yang layak dipelihara dan dilestarikan tidak kurang dari 10 %. Betty Ricks menggambarkan komposisi volume arsip suatu organisai sebagai berikut:
• 10 % arsip yang akan dilestarikan(statis)
• 25 % arsip dalam kategori aktif
• 30 % arsip memasuki masa inaktif
• 35 % arsip yang musnah (Ricks,1992: 101-102)


b. Fokus permasalahan
Permasalahan yang dijadikan titik pembahasan dalam makalah ini dapat disebutkan sebagai berikut :
1. bagaimana agar penyusutan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan dan ketentuan teknis yang berlaku?
2. bagaimana apraisal/penilaian terhadap arsip yang ada
c. Batasan masalah
Dalam makalah perlu diberikan pembatasan permasalahan, yaitu dengan merumuskan batasan-batasan yang pembahasannya. Adapun batasan masalah tersebut adalah:
• pertama, Arsip dalam pengertian ini ialah semua jenis naskah / dokumen / catatan / records yang prinsipnya berupa informasi terekam dalam bentuk dan corak apapun yang telah menjadi bukti pelaksanaan kegiatan/bukti transaksi/ penyelenggaraan kehidupan kebangsaan.
• Kedua, penilaian terhadap arsip
• Jadwal retensi arsip (JRA)

II. Tinjauan Teoritis
a. Definisi arsip
Rumusan yang umum mengenai pengertian arsip adalah rekaman informasi, tanpa memandang media atau karakteristiknya, dibuat atau diterima organisasi yang digunakan untuk menunjang operasional (Ricks, 1992: 3). Arsip dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah warkat, didefinisikan sebagai catatan-catatan tertulis non-published atau dalam catatan dalam bentuk elektronik baik dalam bentuk gambar ataupun bagan yang memuat kegiatan-kegiatan atau bisnis. Arsip adalah dokumen yang tercipta sebagai akibat atau hasil samping (by product) kegiatan yang dilakukan suatu organisasi atau individu dalam rangka menjalankan fungsinya dan sehari-hari masih digunakan dalam proses pelaksanaan fungsi tersebut. Rekod menunjang kegiatan organisasi maupun perorangan dan menjadi bukti dari aktivitas tersebut. Selain itu definisi lainnya dinyatakan dengan:
“All recorded information, regardless of media or characteristics, made or received and maintained by an organization or institution in pursuance of its legal obligation or in transaction of its business.”

Yaitu semua informasi terekam, apapun media atau karakteristiknya, yang dibuat atau diterima dan dipelihara oleh suatu organisasi atau lembaga/instansi dalam menjalankan kewajibannya menurut hukum atau pelaksanaan kegiatan bisnisnya.
Atas dasar pengertian diatas, maka yang termasuk dalam pengertian arsip itu misalnya: surat-surat, kwitansi, faktur, pembukuan, daftar gaji, daftar harga, kartu penduduk, bagan organisasi, foto-foto dan lain sebaginya. Arsip mempunyai beberapa fungsi bagi lembaga pembuatnya, yaitu pertama sebagai pusat ingatan/memori, kedua sebagai sumber informasi dan ketiga sebagai alat kontrol/pengawasan yang berperan penting bagi suatu organisasi dalam melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan inti maupun pendukungnya dari tugas pokok dan fungsinya.
b. Daur Hidup Arsip
Daur hidup arsip pada dasarnya dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu penciptaan, distribusi, penggunaan, pemeliharaan dan disposal, dengan pada tiap-tiap fasenya terdapat unsur-unsur dan kegiatan-kegiatan didalamnya. Konsep daur hidup ini menyediakan starting-point yang berguna bagi program manajemen rekod. Pada dasarnya ketika sebuah arsip diciptakan seharusnya sudah tergambar keputusan kapan arsip tersebut akan disusutkan.(kennedy, 1994:6-7)
Arsip substantif memiliki daur hidup sejak berstatus aktif dimana memiliki nilai guna dan digunakan dalam proses operasional unit kerja, sampai menuju masa inaktif dimana nilai gunanya mulai menurun. Perjalanan arsip substantif berakhir pada saat penentuan nasib akhir, apakah disimpan menjadi arsip permanen atau dimusnahkan. Proses perpindahan nilai guna sampai pada penentuan nasib akhir tersebut melalui kegiatan yang disebut penilaian arsip.
Dari penilaian arsip maka akan ditentukan arsip dengan kategori arsip yang mempunyai nilai kontinuitas/ berlangsung terus menerus/ abadi yang akan menjadi arsip statis. Meskipun jumlah arsip yang dikategorikan statis kecil, tetapi mempunyai nilai informasi tinggi dan berguna bagi penelitian ilmiah, baik tentang aktivitas masyarakat, organisasi, individu, bangsa dan negara. Meskipun sedikit jumlahnya, karena mempunyai nilai informasi yang tinggi, maka keberadaannya harus senantiasa terpelihara dan terjaga kelestariannya. Manfaat dari memelihara arsip bagi suatu lembaga atau organisasi adalah karena :
• Arsip memberikan ingatan ;
• Menyediakan informasi tentang produk kerja, petunjuk kebijakan. informasi tentang kepegawaian/personalia dan keuangan ;
• Menyimpan informasi aktivitas organisasi dalam kaitan dengan aktivitas sosialnya ;
• Memberikan manfaat yuridis/legal dan layanan penelitian ;
• Menyediakan informasi berkaitan dengan hari jadi organisasi atau peringatan moment penting dan bersejarah bagi organisasi.

III. Pembahasan dan Analisis
a. Pengolahan Arsip
Pengolahan arsip merupakan kegiatan terpenting dari seluruh rangkaian kegiatan dalam manajemen arsip statis. Kegiatan ini biasa disebut dengan tahap inventarisasi arsip statis. Hasil dari pengolahan adalah terciptanya jalan masuk/acces terhadap arsip dengan wujud sarana temu balik arsip (finding aids). Sarana temu balik arsip ini dikenal dengan sebutan senarai arsip, Inventaris Arsip, guide, dan sebagainya.
Program Pascasarjana IAIN Walisongo selama ini belum pernah mengolah kegiatan kearsipannya dengan baik. Semua arsip yang diciptakannya secara otomatis akan diletakkan dalam filing dengan urutan nomor pokok surat sebagai kendalinya yang disusun berdasarkan tahun. Sehingga arsip-arsip dengan nilai atau bidang yang berbeda akan mengumpul menjadi satu filing, sehingga menimbulkan kesulitan yang tinggi dalam menemukannya. Inventarisasi hanya dilakukan dengan cara sederhana dengan menuliskan pada buku induk persuratan. Padahal dalam kegiatan inventarisasi terdapat dua prinsip yang bisa dijadikan pedoman, yaitu:
• Prinsip asal-usul (respect des fonds (Perancis), herkomst beginsel (Belanda), principle of provenance (Inggris/ Amerika). Menurut prinsip ini arsip dikelola berdasar asal-usul arsip/lembaga pencipta arsip yang mernmiliki otoritas tertinggi. Prinsip ini banyak dianut di kebanyakan negara. Untuk prinsip pertama ini, sebenarnya telah dapat diketahui pada saat arsip-arsip tersebut diakuisisi atau diserahkan oleh lembaga pencipta arsip. Lembaga pencipta yang menyerahkan arsipnya itulah yang menjadi provenance/fonds dari arsip tersebut
• Prinsip aturan asli (principle of original order (Amerika/lnggris). struktuur beginsel (Belanda). Menurut prinsip ini arsip harus diatur sesuai dengan aturan yang dipergunakan pada masa dinamisnya. Artinya penataannya harus sama dengan saat arsip-arsip tersebut berada di lembaga pencipta. Prinsip ini dapat diterapkan apabila ketika arsip diakuisisi atau diserahkan dalam keadaan teratur, atau minimal ada jalan masuk penemuan arsip saat dinamisnya. Umumnya arsip-arsip di Indonesia saat diserahkan/diakuisisi dalarn keadaan tidak teratur/kacau. Oleh karena itu, untuk menerapkan/ merekonstruksi sesuai prinsip ini sangat su!it dilakukan. Sehingga langkah/solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan pendaftaran kembali arsip-arsip yang ada dengan cara mendeskripsi arsip ke dalam kartu fiches.
b. Penilaian Arsip (Records Appraisal)
Penilaian arsip merupakan proses awal dari kegiatan penyusutan dan dinilai sangat penting untuk menjamin terpeliharanya informasi yang memiliki nilai guna bagi perkembangan operasional unit kerja (ANRI, 2000). Penilaian arsip merupakan suatu kegiatan analisis informasi terhadap sekelompok arsip unit kerja untuk menentukan nilai guna dan jangka simpan dengan memperhatikan kaidah hukum dan kepentingan lainnya. Menurut The Society of Americant Archivist Committee on Terminology, penilaian arsip adalah proses penentuan nilai sekaligus penyusutan arsip yang didasarkan pada fungsi administratif, hukum , dan keuangan; nilai evidensial dan informasional atau penelitian; penataannya; dan kaitan arsip dengan arsip lainnya (Brichford, 1977:1).
Dalam hubungan ini persoalan dihadapkan pada kemampuan menganalisis dalam menentukan nilai guna dengan batasan kaidah yang berlaku dan keterkaitan arsip pada kepentingan sesuai peran isi informasi didalamnya. Di dalam penilaian arsip sendiri menurut Ricks, ada dua kegiatan yang harus dilalui, yaitu :
1. Seleksi arsip (records selection), yaitu kegiatan pengidentifikasian tentang arsip apa yang akan disimpan dan dipelihara; siapa pengguna arsip itu kelak: apa jenis arsipnya; apakah seluruh bentuk dan corak arsip yang ada pada instansi perlu disimpan, unit kerja mana yang paling banyak menghasilkan arsip yang penting dipelihara organisasi, dan sebagainya. Kemudian kegiatan penentuan tipe arsip (records type). Umumnya tipe arsip yang disimpan adalah kertas. Tetapi ada juga yang menyimpan arsip dengan media film, negatif foto, kaset, mikrofilm, mikrofis, atau cetak biru (blue print).
2. Penentuan nilai arsip, yaitu menentukan apakah arsip itu mempunyai nilai referensi/ informasi (reference value) atau nilai penelitian (research value) (Ricks. 1993: 309-310).
Peralihan rekod dari aktif menjadi inaktif terjadi melalui suatu proses yang tergantung dari kegunaan masing-masing rekod bagi kepentingan pelaksanaan pekerjaan . Jangka waktu dari aktif ke inaktif sepenuhnya tergantung dari masih perlu tidaknya rekod tersebut. untuk penyelesaian suatu urusan di unit kerja, jadi berbeda-beda. Ada yang lama berada pada tahap aktif, ada yang hanya untuk periode singkat. Rekod atau arsip inaktif pada suatu ketika menurun nilai gunanya dan sama sekali tidak dibutuhkan lagi. Saat itu harus diputuskan apakah rekod tersebut akan dimusnahkan atau disimpan selama-lamanya sebagai arsip permanen. Penentuan musnah atau simpan permanen dilakukan melaui proses penilaian (records appraisal). Arsip yang tidak tinggi nilai gunanya baik sebagai bahan pertanggungjawaban kegiatan organisasi maupun kepentingan lain, dimusnahkan. Arsip dengan nilai informasi cukup tinggi dipertahankan dan disimpan dan dilestarikan secara permanen, sebab berguna sebagai sumber sejarah, penelitian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan arsip statis adalah arsip permanen ini. Dalam bahasa Inggris disebut archives, yakni: “The non-current records of an organization or institution preserved because of their continuing value”.
c. Jadwal retensi dan Disposal Arsip
Didalam menyajikan analisis isi informasi arsip, retensi atau jangka waktu penyimpanan mempunyai peran sangat penting. Jadwal Retensi Arsip (JRA) adalah sebuah bentuk daftar yang berisi jadwal tentang jangka waktu penyimpanan arsip sebagai pedoman dalam kegiatan penyusutan arsip (Deptan, 1997). Melalui jadwal retensi, petugas arsip atau staf administrasi dapat menentukan apakah arsip tersebut disimpan, dipindahkan atau dimusnahkan. Jadwal retensi dan disposal arsip adalah suatu daftar arsip pada suatu organisasi yang berisi petunjuk teknis bagaimana arsip-arsip diperlakukan/dibuang setelah diciptakan dan digunakan. Jadwal ini menerangkan seberapa lama arsip-arsip disimpan, termasuk arsip-arsip yang harus disimpan dalam jangka waktu yang tidak terbatas, jadwal tersebut memuat instruksi-instruksi kapan arsip-arsip dikirim ke tempat penyimpanan kedua, atau diarsipkan.
Program disposal dan retensi arsip memiliki dua komponen besar, yaitu : pertama pengembangan sebuah jadwal retensi dan disposal dan pengawasan-pengawasan yang berhubungan untuk pembuangan arsip. Dan kedua, pengidentifikasian dan penggunaan fasilitas dan sistem penyimpanan yang sesuai untuk arsip inaktif dan arsip-arsip yang memiliki nilai permanen(Kennedy,1994. hal.53)
Jadwal Retensi Arsip (JRA) merupakan alat yang amat penting dalam manajemen kearsipan, karena dapat memberi sumbangan nyata pada upaya peningkatan efisiensi operasional instansi dan memberi proteksi terhadap arsip yang karena memuat informasi bernilai guna tinggi agar dapat dilestarikan. Berbicara mengenai manajemen arsip sebenamya berbicara mengenai manajemen informasi yang mengendap pada suatu medium (bahan) materi, yang belum/tidak dipublikasikan (unpublished recorded information). Medium endapan informasi pelaksanaan kegiatan administrasi/bukti transaksi amat beragam, antara lain: berupa teks, gambar grafis, audio visual dan lukisan. Medium yang berupa kertas (paper based records) dikenal sebagai arsip konvensional, dan yang non kertas biasa dikenal sebagai arsip media baru, seperti pita/piringan magnetic, optik serta chemical based seperti film dan foto. Semua itu tercipta sebagai rekaman kegiatan pelaksanaan fungsi sesuatu instansi organisasi. Dengan demikian setiap upaya manajemen arsip harus mempertimbangkan, fungsi instansi organisasi, substansi informasi dan karakteristik mediumnya.
Dari aspek kebutuhan pengembangan budaya kerja, jadwal retensi arsip memiliki dua fungsi, yaitu sebagai subsistem manajemen peningkatan efisiensi operasional instansi dan pelestarian bukti pertanggung jawaban nasional serta pelestarian informasi pertumbuhan budaya bangsa. Adanya jadwal retensi arsip, menjadikan petugas arsip /arsiparis di instansi yang bersangkutan dapat secara langsung melakukan penyusutan arsip, secara sistematis berdasarkan pedoman yang sah. Dengan demikian peningkatan kecepatan akumulasi arsip dapat diimbangi dengan kelancaran peyusutan, sehingga hanya arsip yang bemilai guna sajalah yang disimpan. Hal ini akan bermuara pada efisiensi mencakup biaya sewa ruang penyimpanan, peralataan kearsipan, tenaga dan waktu yang diperlukan untuk penemuan arsip (retrieval) dan pada akhirnya mempercepat proses pengambilan keputusan oleh pimpinan instansi/perusahaan dengan tingkat akuntabilitas tinggi dan reliabilitas faktual. Hal penting dari manajemen arsip yang baik adalah bahwa unit kearsipan menjadi bagian fungsional manajemen instansi/perusahaan, dalam rangka meningkatkan efisiensi operasional. Dengan adanya pedoman penyusutan arsip sejak awal telah dapat dipantau dan dilakukan langkah penyelamatan bukti pertanggungjawaban nasional dan bukti prestasi intelektual berupa nilai budaya bangsa yang terekam dalam bentuk arsip. Bukti pertanggungjawaban dan prestasi budaya tersebut bukan saja bermanfaat bagi kepentingan penelitian sosial, budaya dan sejarah dalam rangka pembentukan kesadaran jati diri bangsa, melainkan yang terpenting justru memberikan dukungan data atau informasi dalam perumusan kebijaksanaan nasional.

d. Pelaksana analisa penilaian arsip
Dalam tradisi Barat kegiatan teknis penyusutan tersebut menjadi kompetensi profesi arsiparis/records manager, yang dalam pelaksanaan kerjanya dilengkapi dengan kemampuan teknis baku dan profesional. Dilengkapi dengan kriteria-kriteria teknis kearsipan, yang diantaranya adalah kriteria penyusutan dengan menghitung frekuensi penggunaan arsip, misalnyaInternational on Archives (ICA) rnelihat bahwa berkas yang hanya digunakan kurang dari enam kali dalam satu tahun dapat dianggap sebagai arsip inaktif. Sementara itu Association for Records Manager and Archivist (ARMA) menentukan kriteria bahwa berkas yang sama digunakan kurang dari sepuluh kali harus dianggap sebagai arsip semi aktif / semi current, dan bila kurang dari delapan kali harus dianggap sebagai arsip inaktif. Arsip demikian tidak boleh disimpan di ruang-ruang unit pengolah melainkan harus disimpan di tempat yang nilai ekonominya rendah, yang secara umum disebut Unit Kearsipan/Pusat Arsip/Records Center, sebagai arsip inaktif.
Persoalannya adalah bahwa di Indonesia tidak/jarang ditemukan tradisi menghitung frekwensi penggunaan berkas. Sering diperdebatkan pengertian mengenai istilah frekuensi penggunaan sangat menurun, sebagaimana dimaksud PP No. 34/1979, antara pihak Unit Pengolah dengan pihak petugas arsip/ arsiparis. Dalam situasi seperti tersebutada kecenderungan anggapan di Unit Pengolah, bahwa arsip yang masih sesekali digunakan dianggap masih aktif dan hanya arsip yang sudah tidak digunakan saja yang disebut inaktif. Akibat langsung dari kecenderungan ini ialah bahwa Unit Kearsipan diidentikkan dengan tempat penyimpanan sampah atau barang bekas, atau bahkan petugas arsip pada Unit Kearsipan ada atau tidak ada cenderung dianggap sarna saja. Untuk mengatasi hal tersebut, maka JRA sesuai dengan ketentuan PP No. 34/1979, sangat diperlukan sebagai pedoman penyusutan arsip yang keberadaan dan berlakunya merupakan kopetensi pimpinan instansi/ perusahaan.



IV. Kesimpulan

Program Pascasarjana IAIN Semarang selama itu tidak pernah melakukan pengolahan secara terstruktur terhadap arsip-arsip yang dihasilkannya. Oleh karenanya pencarian dan temu kembali terhadap arsip yang dibutuhkan menjadi tidak terkendali. Masalah ini seharusnya diatasi dengan dibentuknya semacam usaha pengendalian arsip, dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis dan standar, sehingga masalah-masalah tentang kearsipan datang tertangani dengan baik.
Dalam Arsip terdapat 5 daur hidup arsip, yaitu penciptaan, distribusi, penggunaan, pemeliharaan dan pemusnahan, Konsep daur hidup ini menyediakan starting-point yang berguna bagi program manajemen rekod.
Penilaian dan jadwal retensi arsip merupakan kegiatan pada fase yang terakhir yaitu fase disposal. Penilaian arsip akan menentukan kapan suatu arsip harus disusutkan dengan menganalisa seberapa besar nilai guna arsip tersebut.




















Daftar Bibliografi

Image Management: A Records SystemApproach, Ed. 3, Ohio: South-Western Publishing Co.

McKemmish, Sue dalam Keeping Archives. Judith Ellis (Ed.) 2, Australia: D.W. Thorpe, 1993

Jay Kennedy and Cherryl Schauder, Record Management : a Guide for Students and Practitioners of Record Management, Melbourne : Longman, 1994

Betty R Ricks, CRM dkk, Information and Image Mangement, a Records Systems Approach. South-Western Publishing CO.Cincinnati, Ohio. USA., 1992

Perundang-undangan

PP No. 34 Tahun 1979 tentang Penyusutan Arsip

UU No. 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kearsipan

SKEMA KLASIFIKASI DALAM PERPUSTAKAAN

Pendahuluan
Klasifikasi merupakan kegiatan pengelompokan/menggolongkan bahan pustaka berdasar subyek atau isi pokok persoalan. Menurut Sulistyo Basuki (1991) klasifikasi berasal dari kata Latin "classis" atau proses pengelompokan, artinya mengumpulkan benda/entitas yang sama serta memisahkan benda/entitas yang tidak sama. Menurut Towa P. Hamakonda dan J.N.B. Tairas (1995) klasifikasi adalah pengelompokan yang sistematis dari obyek, gagasan, buku atau benda-benda lain ke dalam kelas atau golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama. Dalam dunia perpustakaan terdapat dua macam/jenis notasi dasar sistem klasifikasi yaitu, notasi murni yang hanya menggunakan salah satu dari huruf, angka, atau tanda-tanda lain secara konsisten, dan notasi campuran. yang menggunakan dua simbol atau lebih, yaitu gabungan antara huruf dan angka.
Sistem Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi perpustakaan dapat dibedakan menurut ciri pengelompokannya, yaitu :
1. Klasifikasi Artifisial : pengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri atau sifat-sifat lainnya
2. Klasifikasi Utility :Pengelompokan bahan pustaka dibedakan berdasarkan kegunaan dan jenisnya.
3. Klasifikasi fundamental: Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri subyek Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan sistem ini mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya:
a. Bahan pustaka yang subyeknya sama atau hampir sama, letaknya berdekatan.
b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai koleksi yang dimiliki dengan melihat subyek mana yang lemah dan mana yang kuat.
c. Memudahkan pemakai dalam menelusur informasi menurut subyeknya.
d. Memudahkan pembuatan bibliografi menurut pokok masalah.
e. Untuk membantu penyiangan atau weeding koleksi.
Klasifikasi fundamental banyak digunakan oleh perpustakaan besar maupun kecil. Dalam sistem tersebut buku dikelompokan berdasarkan subyek, seperti DDC, UDC LCC) sehingga memudahkan pemakai dalam menelusur suatu informasi.
Kriteria Skema Klasifikasi
Skema klasifikasi membutuhkan beberapa kriteria dasar, agar pengklasifikasian dapat berjalan dengan baik, yaitu :
(1) Bagan klasifikasi harus inklusif dan menyeluruh dan mencakup seluruh bidang pengetahuan manusia.
(2) Bagan klasifikasi harus sistematis. Ada hirarki dari subyek yang lebih luas kepada yang lebih rinci, akan tetapi juga bahwa subjek harus disusun dalam urutan yang sistematis dengan cara menempatkan secara bersama-sama subjek-subjek yang saling berkaitan.
(3) Bagan klasifikasi harus luwes (fleksibel) dan meluas, sehingga tambahan subjek-subjek baru bisa diselipkan ke dalamnya tanpa mengganggu rangkaian susunan klasifikasi.
Sejak diperkenalkannya sistem klasifikasi persepuluhan Dewey pada tahun 1876, pola penyusunan klasifikasi berdasar kelas dianggap sangat penting. Beberapa skema yang muncul setelah itu antara lain LCC, UDC, Colon Classification, Expansive Classification, Bibliographic Classification, dan lain sebagainya.
Beberapa jenis skema klasifikasi yang akan dipaparkan dalam tulisan ini adalah :
a. Library of Congress Classification.
b. Universal Decimal Classification
c. Colon Classification
d. Expansive Classification


A. Library of Congress Classification
Library of Congress didirikan pada tahun 1800. Klasifikasi yang digunakan pada tahun tersebut menggunakan sistem klasifikasi berdasarkan ukuran koleksi, seperti ukuran folio, kuarto maupun octavo. Tetapi disebabkan pertumbuhan koleksi yang sangat cepat, hingga pada tahun 1812 mencapai 3.000 (tiga ribu) volume, mulai timbul permasalahan-permasalahan dalam identifikasi, sehingga kemudian dipandang perlu untuk mencari dan menemukan metode klasifikasi baru yang tepat. Saat itu solusi yang ditemukan adalah dengan mengadopsi sistem klasifikasi Bacon-d’Alembert seperti yang sejak tahun 1789 digunakan untuk katalogisasi perpustakaan Benjamin Frenklin. Karena perang pada tahun 1814 perpustakaan tersebut dibakar, sehingga sekitar 7000-an volume dijual ke Library of Congress. Yang unik adalah bahwa seluruh koleksi tersebut diolah, dikatalogisasi dan diklasifikasi sendiri, dengan menggunakan 44 kelas utama dan dibagi lagi berdasarkan interpretasi yang berbeda dengan system Bacon-d’Alembert diatas. System Bacon ini tetap dipakai oleh LC sampai akhir abad ke-19.
Klasifikasi Library of Congress adalah suatu sistem klasifikasi perpustakaan yang dikembangkan oleh Library of Congress. Klasifikasi ini banyak digunakan oleh perpustakaan riset dan akademis di Amerika Serikat. dan beberapa negara lainnya. Klasifikasi ini pada awalnya dikembangkan oleh Dr. Herbert Putnam. Pada tahun 1899 Putnam merupakan pustakawan baru LC, yang didesain untuk menanggapi/atau mengatasipasi melonjaknya koleksi LC. Kemudian atas dorongan Charles Ammi Cutter, dia merancang khusus suatu klasifikasi baru bagi Perpustakaan LC berdasarkan Cutter Expensive Classification dan DDC. Pada saat itu kedua sistem ini, yaitu detailnya adalah ”the firs five edition of DDC” dan ”the first six expension’s of Cutter Expansive Classification”. LC kemudian mempelajari kedua sistem tersebut selain juga mempelajari dengan seksama German Halle Schema yang dirancang oleh Otto Hartwig.
Klasifikasi ini mulai dikembangkan pada 1899 dan diterbitkan pertama kali pada 1901. Klasifikasi ini disusun dengan menggunakan huruf dan angka sebagai simbol atas dasar urutan abjad. Nomor klas pada LC klasifikasi selalu diawali dengan huruf (alphabet) yang mengidentifikasi subjek dari karya tersebut. Nomor klas juga berfungsi sebagai kode lokasi.
Notasi
1. Nomor Kelas
Nomor kelas LC berisi suatu notasi campuran antara satu sampai tiga huruf, dan diikuti oleh satu sampai empat bilangan bulat. Nomor persepuluhan tidak dipakai kecuali sangat diperlukan. Ini dipakai untuk meluaskan sub kelas dibawahnya. Metode lain yang digunakan adalah mengadopsi kelas-kelas Cutter, yang merupakan gabungan huruf dan angka yang mnemonic.
2. Nomer Buku. Nomor panggil di dalam sistem LC ini terdiri dari dua elemen, yaitu nomor kelas dan nomer buku. Nomor buku ini dibuat berdasarkan inisial huruf tajuk entri utama yang kemudian diikuti dengka angka Arab
3. Nomer yang diadopsi dari Cutter.
4. Tambahan untuk Nomor Panggil

Bagan Klasifikasi LC :
A. General Works,Poligraphy
AC. Collections. Serials. Collected Works
AE. Encyclopedias
AG. Dictionaries and other general reference works
AI. Indexes
AM. Museums
AN. Newspapers
AP. Periodicals
AS. Academies and Learned Societies
AY. Yearbooks, Almanacs, Directories
AZ. History of Scholarship and Learning. Humanities
B. Philosophy. Psychology. Religion
B. Philosophy (General)
BD. Speculative Philosophy
BF. Psychology
BJ. Ethics
BL. Religions. Mythology. Rationalism
BM. Judaism
BP. Islam. Bahaism. Theosophy, etc.
BQ. Buddhism
BR. Christianity
BS. The Bible
BX. Christian Denominations
C. Auxiliary Sciences of History
CS. Genealogy
CT. Biography
D. History: General and Old World
D. History (General)
DA. Great Britain and Ireland
DC. France
DD. Germany
DE. History of the Greco-Roman World
DF. Greece
DG. Italy
DS. Asia
DT. Africa
DU. Oceania
E. America: History
F. America: Local History
G. Geography. Anthropology. Recreation
G. Geography (General)
GB. Physical Geography
GC. Oceanography
GE. Environmental Sciences
GN. Anthropology
GR. Folklore
GV. Recreation. Leisure
H. Social Sciences
H. Social Sciences (general)
HA. Statistics
HB. Economic Theory. Demography
HC. Economic History and Conditions
HD. Industries. Land Use. Labor
HE. Transportation and Communications
HF. Commerce
HG. Finance
HM. Sociology (general)
HQ. The Family. Marriage. Woman
HV. Social Pathology. Social and Public Welfare. Criminology
HX. Socialism. Communism. Anarchism
J. Political Science
JA. Political Science (general)
JC. Political Theory
JK. Political institutions and public administration-United States
JN. Political institutions and public administration-Europe
JZ. International Relations
K. Law
K. Law (general)
KF. Law of the United States
L. Education
L. Education (general)
LA. History of Education
LB. Theory and Practice of Education
LC. Special Aspects of Education
M. Music
ML. Literature on Music
N. Fine Arts
N. Visual Arts
NA. Architecture
ND. Painting
NE. Print Media
P. Language and Literature
P. Philology. Linguistics
PA. Greek Language and Literature. Latin Language and Literature
PE. English Language
PG. Slavic Languages. Baltic Languages. Albanian Language
PJ. Oriental Philology and Literature
PL. Languages of Eastern Asia, Africa, Oceania
PN. Literature (General)
PQ. French Literature - Italian Literature - Spanish Literature - Portuguese Literature
PR. English Literature
PS. American Literature
PT. German Literature
Q. Science
Q. Science (general)
QA. Mathematics
QB. Astronomy
QC. Physics
QD. Chemistry
QE. Geology
QH. Natural History
QK. Botany
QL. Zoology
QM. Human Anatomy
QP. Physiology
R. Medicine
R. Medicine
S. Agriculture
S. Agriculture (general)
SB. Plant Culture
T. Technology
T. Technology (general)
TC. Hydraulic Engineering
TD. Environmental Technology
TK. Electrical Engineering
TL. Motor Vehicles. Aeronautics. Astronautics
TP. Chemical Technology
TX. Home Economics
U. Military Science
U. Military Science (General)
V. Naval Science
VK. Navigation
Z. Bibliography. Library Science. Information Resources
Z. Books (general). Libraries. Bibliography
ZA. Information Resources (general)


B. Universal Decimal Classification

UDC merupakan bagan klasifikasi seluruh ilmu pengetahuan manusia. Ia dapat digunakan untuk mengelompokkan ilmu pengetahuan terekam, katalog, indeks, dan karya lain yang berujud literatur, baik yang tercetak maupun yang bukan tercetak. Ia memungkinkan dapat menyusun dengan cara tertentu subjek khusus secara bersama-sama serta semua informasi dengan cepat dapat ditempatkan secara tepat dan cepat, termasuk juga dalam penelusurannya.
UDC dikembangkan oleh Bibliografer Belgia yang bernama Paul Otlet dan Henri la Fontaine pada akhir abd ke-19. Klasifikasi ini juga didasari atas DDC, tetapi menggunkan tanda untuk mengidentifikasi aspek-aspek khusus dari suatu subyek dan hubungan antar subyek.
UDC merupakan model klasifikasi khusus yang sangat cocok untuk digunakan oleh para ahli di bidang-bidang tertentu secara lebih mendalam. Hubungan-hubungan antar subjek yang khusus dimungkinkan juga dikembangkan melalui penerapan sistem klasifikasi UDC ini, sehingga dengan demikian penerapannya diharapkan menjadi semakin berkembang, meluas sesuai dengan beragamnya bidang minat para ahli.
Universal Decimal Classification merupakan skema klasifikasi yang bisa diterapkan dalam seluruh bidang ilmu pengetahuan atau perwakilan pengetahuan. DDC ini menawarkan suatu truktur yang logis untuk mengindeks dan mewakili konsep, informasi atau pengetahuan terekam dalam bentuk apapun atau disimpan dalam jenis/media apapun. Pengetahuan dibagi menjadi 10 kelas, yang tiap kelas dibagi lagi menjadi bagian yang lebih rinci. Struktur klasifikasi ini merefleksikan disiplin-disiplin ilmu yang tradisional yang sudah familiar tetapi harus selalu dilakukan kontrol untuk menjaga perkembangan pengetahuan.
UDC atau Klasifikasi Persepuluhan Universal merupakan perluasan dari klasifikasi DDC, klasifikasi ini didesain untuk melakukan pengindeksan subjek tentang semua cabang kepustakaan, dengan mengkhususkan kelas menggunakan notasi persepuluhan. Divisi subjek yang lebih luas sama dengan notasi DDC, namun pada notasi perinciannya, UDC menggunakan alat-alat penyatu (sintesis), sehingga telah jauh dari notasi asalnya yaitu DDC. UDC terbit pertama kali pada tahun 1899 di Prancis dengan nama Manuel du Repertoire Universel Bibliographique, yang kemudian dengan bantuan Federation Internationale de Documentation, diperinci lagi dan diterbitkan dalam berbagai bahasa. UDC memiliki lebih dari seratus ribu divisi pada tabel utama (bagan utama), sehingga lebih memungkinkan untuk mengklasifikasi dokumen dengan sangat rinci.
Prinsip-prinsip
UDC mempunyai prinsip-prinsip dasar yaitu:
1. Mendasarkan klasifikasinya atas analisis isi gagasansehingga konsep-konsep yang saling berkaitan terkumpul
2. UDC merupakan sistem klasifikasi yang menyeluruh
3. UDC merupakan sistem klasifikasi desimal yang dibentuk atas prinsip kerja dari yang umum kepada yang khusus
Tiga komponen penting dalam UDC
Terdapat tiga bagian penting dalam klasifikasi UDC ini, yaitu :
Pertama : Bagan atau tabel UDC mendaftar 10 kelas utama mulai dari angka 0 untuk ilmu pengetahuan yang umum dan sembilan kelompok lainnya yang diwakili dengan angka 1 hingga 9
Kelas-kelas utama UDC adalah sebagai berikut:
0 Generalia, karya-karya umum
1 Filsafat, metafisika, psikologi
2 Agama, teologi
3 Ilmu-ilmu sosial
4 Bahasa, sekarang tidak digunakan
5 Ilmu-ilmu murni, matematika, dan pengetahuan alam
6 Ilmu-ilmu terapan, kedokteran, teknologi
7 Kesenian, rekreasi, permainan, olah raga
8 Kesusastraan, sastra, filologi, linguistik, dan bahasa
9 Geografi, biografi, sejarah.

Kedua : Tabel pembantu/tambahan, merupakan tabel-tabel yang mendaftar notasi tambahan umum dan khusus serta tanda penghubung/perluasan yang dapat ditambahkan pada tiap notasi utama sesuai keperluan. Notasi dan tanda dalam tabel ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus selalu dicantumkan /ditambahkan pada notasi pokok yang terdaftar pada tabel utama (kelas utama). Tabel ini terdiridua macam kategori yaitu, tambahan umum (common auxiliaries) yang bisa diterapkan pada semua kelas; dan yang kedua adalah tambahan khusus (special auxiliaries) yang mempunyai makna berbeda dengan yang pertama, dan hanya bisa diterapkan pada bidang-bidang yang tertentu saja. Notasi dan tanda tambahan tersebut terdiri sebagai berikut :
+ tanda tambahan dan perluasan, digunakan untuk menggabungkan dua atau lebih subjek yang berbeda
/ tanda yang digunakan untuk menggabungkan nomor-nomor UDC yang berurutan guna menunjukkan tajuk yang lebih luas
: dan : : tanda yang menghubungkan dua notasi kelas, digunakan untuk menunjukkan dua subjek atau lebih di dalam bagan dengan tujuan untuk membentuk notasi yang paling spesifik
[ ] tanda yang digunakan untuk menunjukkan hubungan subordinasi
= tanda yang menunjukkan bahasa yang berarti menunjukkan suatu dokumen yang ditulis dalam bahasa tertentu
(0....) tanda yang menunjukkan bentuk penyajian
(1) sd (9) tanda yang menunjukkan petunjuk tempat, merupakan nomor-nomor geografi yang bisa digunakan pada Dewey, namun tanpa angka awal 9, dan digunakan di dalam kurung
(=....) tanda yang menunjukkan ras dan kebangsaan
”.......” tanda yang menunjukkan waktu
A-Z,I,II,III Spesifikasi alfabetis dan non-UDC untuk mempertajam subyek
.00..... tambahan untuk menyatakan sudut pandang subyek
-0/-9,.0 dan ’...... subdivisi tambahan/khusus
Dan ketiga, Indeks Subyek Alfabetis, terdiri dari subyek-subyek verbal yang disusun berdasrkan abjaddan mengacu kepada nomer kelas pada bagan utama. Fungsinya untuk menunjukkan notasi kelas dalam suatu subyek dalam tabel utama UDC.
Tiga segi dasar dari UDC yang secara langsung dapat dikenali atau dijejaki melalui alat pengingat atau alat tiruan lainnya dan yang pertama dikenalkan dalam sistem DC adalah:
1) Common Auxiliaries (pembantu umum) yang dengan jelas dapat memperpanjang gagasan yang mendasari divisi geografi dan bentuk DDC, misalnya seperangkat divisi berulang di seluruh bidang ilmu pengetahuan
2) Special Auxiliaries (pembantu khusus), merupakan perpanjangan gagasan-gagasan DDC dari seperangkat konsep yang berulang pada subjek-subjek khusus, misalnya divisi linguistik di bawah setiap bahasa
3) Hubungan bersama antara nomor-nomor kelas utama dengan memakai tanda titik dua atau kolon (:), diberi petunjuk Devide like... pada DC,
Penggunaan lambang tersendiri guna mengenal prinsip-prinsip divisi
Angka 0 pada DC umumnya mempunyai arti bahwa subjek yang diwakili oleh angka yang mendahuluinya sekarang dibagi oleh bentuk penyajian (form of presentation) Demikian pula angka 0 yang mengikuti angka geografis yang hampir selalu memperkenalkan periode sejarah di tempat itu. Nomor kelas yang berbentuk demikian lebih luwes daripada nomor desimal sederhana yang terdapat di dalamnya bisa dikembangkan menjadi lebih dari satu titik.
UDC merupakan struktur notasi yang lebih mampu mengembangkan konsep atau subyek-subyek tertentu secara lebih luas, bukan sekadar membagi kelas berdasarkan sistem desimal atau ke dalam sembilan kelas tadi seperti yang terjadi pada DDC. Di sini kesan subordinasi dan koordinasi dalam kelas-kelas tertentu sering dikorbankan. Jika suatu subjek lebih dari sembilan kelas yang ditampungnya, maka dilakukan berbagi nomor seperti misalnya 941 (Scotland) dan 941.5 (Ireland). Namun jika kurang dari sembilan subkelas yang ditampungnya maka bisa dikembangkan melampaui sembilan kelas. Dengan cara demikian maka dapat memperpendek panjang nomor kelas atau notasi yang dibuat, misalnya 592/595 yang berarti untuk invertebrata.
Berikut ini dicatat dua perubahan khusus yang terjadi pada DDC dan UDC:
Pertama sebagai skema internasional, UDC sekali-sekali menghilangkan kesan penekanan Amerika seperti yang terjadi pada DDC, misalnya untuk notasi 329 (Political Parties). Pembagian tempat untuk semua negara sama.
Kedua: Sementara itu, UDC bukan merupakan gabungan dari sistem klasifikasi khusus. Ia menyediakan nomor-nomor khusus untuk notasi sudut pandang (point of view number), yaitu suatu mekanisme yang struktur skema umumnya bisa disetel atau diatur sesuai dengan kebutuhan klasifikasi khusus.

Struktur dan notasi
Dalam ilmu perpustakaan ilmu pengetahuan universal dianggap sebagai satu kesatuan (unity), dan dikelompokkan dalam sepuluh cabang utama, yang ditunjukkan ke dalam pecahan desimal sebagai berikut:
0 Karya umum: metodologi, dokumentasi, koleksi, informasi, script, recordings
1 Filsafat, metafisik, logika, etika, psikologi
2 Agama, teologi
3 Ilmu-ilmu sosiah: statistika, hukum, pendidikan, dll.
4 Fisiologi, bahasa
5 Ilmu-ilmu murni: matematika dan IPA
6 Ilmu-ilmu terapan: teknologi, medisin
7 Kesenian: arsitektur, fotografi, permainan, olah raga
8 Kesusastraan
9 Geografi, biografi, sejarah.
Pada dasar pembentukan klasifikasi ini, notasi dibangun atas dasar pengembangan pecahan persepuluhan yang terus- menerus dengan prinsip kerja mulai dari yang umum kepada yang khusus. Dengan demikian, setiap konsep dalam bidang ilmu murni akan diwakili oleh pecahan persepuluhan yang lebih luas dari .05 dan sedikit .06, serta pembagiannya diteruskan kepada suatu tingkat yang di perlukan, seperti di perlihatkan pada contoh berikut:
5 Ilmu murni: matematika dan IPA
51 Matematika
52 Astronomi, geodesi
53 Fisika, mekanika
531 Mekanika (of solid bodies)
531 7 Pengkuran besarnya geometrik dan mekanik
531 71 Pengkuran panjangnya, dimensi linear
532 Mekanika cair.
dan seterusnya sesuai dengan keperluan. dan seterusnya yang digunakan untuk tabel-tabel utama atau bagan utama. Hanya apabila digunakan pola pembantu umum seperti .00 (titik kosong-kosong) dan pembantu khusus .0 (titik kosong pada tabel i dan k), atau beberapa maksud mnemonic lainnya seperti divisi paralel 91 dan pembantu-pembantu (4) dan (9), misalnya 91.44 yang berarti geografi Prancis, ini merupakan titik-titik yang berubah-ubah. Meskipun pada figur untuk notasi biasa tidak mengalami perubahan susunan tetapnya.

C. KLASIFIKASI KOLON (COLON CLASSIFICATION)
Dr. Ranganathan adalah seorang ahli matematika india yang belajar ilmu perpustakaan di Inggris, yang kemudian terkenal sebagai pakar klasifikasi perpustakaan, Colon diciptakan pada awal-awal tahun 1930-an dengan mengadaptasikan faset sebagai istilah yang menunjukkan bagian-bagian yang lebih kecil/spesific. Karya-karya Ranganathan tentang klasifikasi antara lain dapat disebutkan seperti Prologomena to Library Classification (edisi ketiga tahun 1967); Library Classification Fundamental and Procesure (1944); Elements of Library Classification Classification (edisi ketiga tahun 1962); Classification and Communication (1951); Depth Classification (1953); dan ratusan artikel mengenai aspek- aspek tentang klasifikasi "faset" atau pengindeksan.
Disebut Colon Classification karena skema ini menggunakan colons atau tanda titik dua, tidak seperti dengan klasifikasi-klasifikasi yang bersifat enumeratif lainnya, klasifikasi kolon merupakan bagan analitik-sintetik, yaitu dengan menganalisis bidang subjek studi ke dalam unsur-unsur pokok atau faset-faset, caranya dengan mendaftar sejumlah foci di dalam faset yang relevan untuk masing-masing kelas utama Ranganathan memberikan 5 kategori fundamental (formula) yang dapat digunakan untuk menggambarkan faset-faset dari suatu subyek, yang terkenal dengan formula PMEST, yaitu :
• Personality
• Material
• Energy
• Space
• Time
Menurutnya proses klasifikasi koleksi memerlukan 8 langkah, yaitu :
0 The Raw Title, merupakan kalimat yang muncul pada halaman judul karya yang diklasifikasi
1 The Expressive Title, merupakan daftar judul yang didasarkan atas isi subyek yang nyata dari karya
2 The Kernel Title menyatakan bahwa the expressive title tersebut dalam inti yang lebih rinci
3 The Analyzed Title mengidentifikasi fungsi-fungsi dari tiap kernel atau elemen
4 The Transformed Title menyusun kembali kernel-kernel dan label kedalam rangkaian yang berguna untuk pengguna
5 The Title in Standard Terms proses menggantikan judul dengan terminologi yang diambil dari sistem klasifikasi
6 The Title in Kernel Numbers
7 The Class Numbers
Analisis PMEST dapat diberikan contoh seperti berikut :
A. Faset berdasarkan karakteristik jenis
Perpustakaan
Perpustakaan umum
Perpustakaan khusus
Perpustakaan pribadi.

B. Berdasarkan pembagian yang lebih rinci (fokus) berdasarkan karakteristik bahasa
Perpustakaan umum
Sastra jepang
Sastra indonesia
Klasifikasi membolehkan interpolasi subyek atau topik-topik baru dengan mudah dalam bagan umum. Sebagai pengganti daftar subjek-subjek dan subdivisinya seperti yang sudah dilakukan oleh bagan klasifikasi linear lainnya, maka klasifikasi kolon mendaftar sejumlah foci di dalam faset yang relevan untuk masing-masing kelas utama yaitu :
• bagian pertama - peraturan (rules);
• bagian kedua - bagan klasifikasi;
• bagian ketiga - bagan klasik dan buku-buku suci dengan nama khusus.
Klasifikasi kolon diperlengkapi dengan angka-angka mnemonik dan alat-alat notasi lainnya. Berikut adalah alat-alat yang umum dari Ranganathan: Angka 2 untuk dua dimensi, bentuk, struktur, konstitusi, dll. Angka "3" digunakan untuk panas, patologi, penyakit, dsb. Angka "5" digunakan untuk estetika, emosi, dsb. Angka "6" digunakan untuk keuangan, uang, dsb. Klasifikasi kolon juga mempunyai sejumlah alat subjek dan abjad. Perlengkapan atau alat subjek (serupa dengan catatan "devide like") terdiri dari penggunaan nomor-nomor kelas yang sesuai bagi formasi atau subdivisi kelas atau subjek. Sedangkan perlengkapan abjad terdiri atas penggunaan angka pertama atau dua angka pertama huruf awal nama-nama diri (proper name), nama dagang, dan tata nama teknis tertentu. Perlengkapan kronologis sebagaimana telah kita lihat pada kesusastraan, mengkhususkan suatu fokus baru dengan memakai tanggal di mana pengarang ditunjuk oleh tanggal lahirnya.
Klasifikasi kolon menggunakan tanda yang sangat beragam. Kelas-kelas utamanya ditunjukkan oleh huruf-huruf kapital, sedangkan angka arab digunakan untuk divisi faset-fasetnya; dan huruf-huruf kecil digunakan untuk bentuk-bentuk bibliografi umum dan divisi subjek, dan yang lainnya. Di samping simbol-simbol yang menunjukkan kelas-kelas pada foci di dalamnya, ada beberapa simbol penghubung (indicator facet), seperti (P) yang dimasukkan oleh suatu koma, (M) oleh semikolon atau tanda titik-koma, (E) oleh kolon, (S) oleh titik, dan (T) oleh tanda petik, sehingga notasinya menjadi panjang dan kompleks.
Di samping itu, terdapat empat indeks yang dirujukkan ke bagan, tapi tidak mudah menggunakannya, sehingga klasifikasi ini tidak banyak digunakan, meskipun di India sendiri.


Bagan Klasifikasi Colon :
A Generalia
1 Universe of Knowledge
2 Library Science
3 Book science
4 Journalism
B Mathematics
B1 Arithmetic
B13 Theory of numbers
B2 Algebra
B23 Algebraic equations
B25 Higher Algebra
B3 Analysis
B33 Differential Equations [equation] , [degree] , [order] : [problem]
B331,1,2:1 Numerical solutions (:1) of ordered (331) linear (,1) second order (,2) differential equations
B37 Real Variables
B38 Complex Variables
B4 Other Methods
B6 Geometry
B7 Mechanics
B8 Physico-Mathematics
B9 Astronomical Mathematics
C Physics
C1 Fundamentals of Physics
C2 Properties of Matter
C3 Sound
C4 Heat
C5 Light and Radiation
C6 Electricity
C7 Magnetism
C8 Cosmic Hypothesis
D Engineering
E Chemistry
facets
:1 General Chemistry
:2 Physical Chemistry
:3 Analytical Chemistry
:33 Qualitative Chemistry
:34 Quantitative Chemistry
:35 Volumetric Chemistry
:4 Synthetic Chemistry
:5 Extraction Chemistry
E1 Inorganic Chemistry
E10 Group 0
E11 Group 1
E110 Hydrogen
E1109 Lithium
E111 Sodium
E2 Hydroxl (Base)
E3 Acid
E4 Salt
E5 Organic Substance
F Technology
G Biology
H Geology
H1 Mineralogy
H2 Petrology
H3 Structural Geology
H4 Dynamic Geology
H5 Stratigraphy
H6 Paleontology
H7 Economic Geology
H8 Cosmic Hypothesis
HX Mining
I Botany
J Agriculture
facets
:1 Soil
:3 Propagation
:4 Disease
:5 Development
:6 Breeding
:7 Harvest
:91 Nomenclature
:92 Morphology
:93 Physiology
:95 Ecology
material facets
,2 Bulb
,3 Root
,4 Stem
,5 Leaf
,6 Flower
,7 Fruit
,8 Seed
,97 Whole Plant
J1 Horticulture
J2 Feed
J3 Food
J4 Stimulant
J5 Oil
J6 Drug
J7 Fabric
J8 Dye
K Zoology (same facet schedule as I Botany)
KZ Animal Husbandry (same facet schedule as I Botany)
L Medicine [organ]:[problem],[cause]:[handling]
LZ3 Pharmacology [substance].[action],[organ]
LZ5 Pharmacopoeia
M Useful arts
M7 Textiles [material]:[work]
Ð Spiritual experience and mysticism [religion],[entity]:[problem]
N Fine arts
NA Architecture [style] , [utility] , [part] : [technique]
ND Sculpture [style] , [figure] ; [material] : [technique]
NN Engraving
NQ Painting [style] , [figure] ; [material] : [technique]
NR Music [style] , [music] ; [instrument] : [technique]
O Literature
P Linguistics
Q Religion
R Philosophy
S Psychology
T Education
U Geography
V History
W Political science
X Economics
Y Sociology
Z Law

Kelebihan :
Pembagian subkelas pada Colon Classification berdasarkan metode pembagian faset PMEST lebih menghasilkan pengelompokan subyek secara terperinci dan lebih detail sehingga precisi untuk mendapatkan koleksi dengan subyek tertentu lebih mudah.
Kekurangan
Colon Classification tidak memiliki/menyediakan nomor klasifikasi yang siap pakai atau bersifat enumerative sehingga pustakawan harus menentukan sendiri nomor kelas untuk menandai analisisnya.


D. KLASIFIKASI EKSPANSIF
Klasifikasi Ekspansif, sebagaimana Klasifikasi Desimal dari Dewey, adalah hasil penemuan dari pelopor perpustakaan. Walaupun Charles Ammi Cutter (1837-1903) 15 tahun lebih tua dari Melvil Dewey (1851-1931), namun membutuhkan waktu 15 tahun lebih lama untuk mempublikasikan gagasannya dalam skema klasifikasi. Keduanya merancang sistemnya sebagai upaya praktis untuk mengorganisasikan koleksi-koleksi yang mereka ketahui dan mereka layani.
Pada tahun 1876 ketika Dewey memperkenalkan klasifikasi persepuluhannya, Charles A. Cutter memulai kerja membuat sistem klasifikasi pada Boston Athenaeum. Cutter merencanakan bukan saja klasifikasi pengetahuan, tetapi juga suatu yang praktis bagi penyusunan buku-buku. Ide dasar dari klasifikasi ekspansif adalah menyediakan bagan klasifikasi berurutan, yang masing-masing bagan merupakan perluasan dari bagan sebelumnya. Garis besar bagan klasifikasi ini pertama kali diterbitkan sebagai suatu artikel, dan terakhir sebagai publikasi terpisah yang diberi judul "Expansive Classification" (klasifikasi ekspansif atau klasifikasi perluasan). Part I: The First Size Classification (Boston, C.A. Cutter, 1891-1893).
Garis besar klasifikasi pada awalnya terdiri dari delapan belas kelas utama, dan yang masih belum sempurna ini dimaksudkan untuk suatu perpustakaan yang sangat kecil. Dalam pengarahannya (Introduction to the Smallest Library), Cutter menyarankan agar perpustakaan kecil memulai penyusunan koleksinya dengan cara yang sistematis, tanpa menrusak susunan koleksi yang sudah ada.Cuttermembagi susunan koleksi menjadi 8 cluster seperti berikut :
A Karya-karya umum dan karya-karya referens, yang meliputi beberapa seksi berikut, dan dengan begitu tidak dapat memasuki yang lain
B Filsafat dan agama
E Biografi
F Sejarah, geografi, dan perjalanan
H Ilmu-ilmu sosial
L Ilmu-ilmu sosial
Y Bahasa dan kesusastraan
YF Fiksi
Masing-masing kelas disusun secara alfabetis menurut nama pengarang, kecuali pada biografi yang harus disusun berdasarkan subjek, yaitu nama-nama (orang) yang dibicarakan. Pada seksi biografi dan fiksi, dan di semua kelas di perpustakaan, yang diperkirakan tumbuh dengan cepat, guna membedakan nama pengarang yang nama keluarganya dimulai dengan huruf yang sama, maka ditambahkan satu tanda (figure) yang diambil dari tabel susunan alfebtis dari Cutter, yaitu metode yang dipakai untuk tujuan pengembangan.
Pada klasifikasi kedua (untuk perpustakaan yang sudah tumbuh lebih besar), Cutter telah memperkenalkan 15 kelas utama. G untuk geografi dan perjalanan; L untuk ilmu-ilmu fisika; M untuk sejarah alamiah, dsb.
Klasifikasi ketiga melengkapi semua kecuali ”P- vertebrata” sebagai dasar dari 26 divisi, dan memisahkan Agama dari Filsafat, memindahkannya ke dalam sustu sub kelas kedua dengan dobel huruf.
Klasifikasi keempat mensubdivisi 12 kelas utama untuk pertama kalinya, meningkatkan sub kelas dengan dobel huruf menjadi 50.
Klasifikasi kelima memperkenalkan kelas 26 single-huruf dari ”P-vertebrata”, dan mensubdivisi semua kelas sisanya yang tidak terdivisikan, menggunakan banyak triple-huruf dan sedikit bagian dari empat kali-huruf.
Klasifikasi keenam tidak memperkenalkan teknik baru, hanya ekspansi baru terhadap kelas dan subkelas yang sudah ada.
Klasifikasi ketujuh dipublikasikan ke dalam 18 bagian, diperbaiki dan di beberapa bagian dikembangkan oleh William Parker Cutter setelah pendahulunya meninggal.
Dalam menyusun kelas-kelas utama, Cutter menuntut untuk mengikuti urutan evolusioner dan historis. Dan ini penting untuk dicatat bahwa kerangka umum klasifikasi Library of Congress erat kaitannya dengan bagan dari Cutter.
Perbandingan bagan klasifikasi:
EKSPANSIF LIBRARY OF CONGRESS
A Karya-karya umum A Karya-karya umum
B Filsafat, agama B Filsafat, agama
C Agama Yahudi dan Kristen C Sejarah ilmu-ilmu pembantu
D Sejarah gerejawi D Sejarah dan topografi (kecuali Amerika)
E Biografi E-F Amerika
G Geologi G Geografi, antropologi
H Ilmu-ilmu sosial H Ilmu-ilmu sosial
I Demotic, sosiologi
J Ilmu politik J Ilmu politik
K Hukum K Hukum
L Ilmu alam L Pendidikan
M Sejarah alamiah M Musik
N Botani N Seni murni
O-P Zoologi P Bahasa dan kesusastraan
Q Kedokteran Q Sains
R Teknologi R Kedokteran
S Engineering, mesin S Pertanian
T Engineering, mekanik T Teknologi
U Seni tempur dan pengawet U Ilmu kemiliteran
V Seni atletik, rekreatif V Ilmu kelautan
W Seni murni
X Filologi
Y Kesusastraan
Z Seni buku Z Ilmu perpustakaan dan bibliografi

Seperti halnya pada bagan klasifikasi lain, Cutter membuat ketentuan untuk divisi bentuk (sejumlah angka dari 1-9; contoh: 1 = teori; 2 = bibliografi, dst.) yang bisa diterapkan pada seluruh bagan.
Ciri-ciri lainnya misalnya adanya suatu tabel lokalitas dengan dua pola notasi numerikal, yang terdiri atas satu seri nomor (11-99), serta daftar negara dan tempat-tempat yang digunakan terutama untuk divisi geografi dan sejarah. Jika, misalnya, 45 adalah angka untuk England, dan D adalah sejarah gereja, maka susunan notasi D45 adalah untuk sejarah gereja di Inggris (England). Dengan begitu maka susunan dalam klasifikasi ekspansif merupakan klasifikasi campuran, yang terdiri atas huruf-huruf kapital (kelas dasar), huruf-huruf kapital kecil (untuk subjek), dan tanda-tanda (figur-figur). Ringkasan notasi Cutter pada awal perluasannya pada dasarnya bisa diterapkan di seluruh bagan klasifikasi.
Dikutipkan dari kata pendahuluannya sebagai berikut (lihat Buchanan, 1979): Klasifikasi terdiri atas dua bagian: 1) Tanda kelas (class mark) yang menunjukkan buku tersebut untuk kelas apa, dan 2) Tanda buku (book mark) yang membedakan buku tersebut dengan buku lain dalam kelas yang sama. Tanda kelas dalam seri klasifikasi yang dipasang di sini adalah notasi pertama: sebuah huruf, yang bisa diikuti oleh sebuah atau beberapa buah huruf apabila kelas itu suatu subjek (seperti misalnya sejarah, filsafat, sains, dan seni), atau bentuk kesusastraan (sperti puisi, drama, fiksi). Kemudian sebuah tanda tunggal (single figure) untuk membedakan buku yang ditulis dalam bentuk tertentu (seperti kamus, ensiklopedia) dari bentuk-bentuk lain pada kelas yang sama.
Selanjutnya dua tanda (two figures) guna membedakan buku-buku yang berhubungan erat dengan tempat (seperti misalnya Amerika, Afrika, Asia, dll.) dari karya-karya lain dalam kelas yang sama. Demikian pendahuluan dari Cutter.
Contoh: F adalah nomor kelas untuk sejarah, dan 30 adalah nomor tempat untuk Eropa. Oleh karena itu Gibbon's (siamang) Decline and Fall of the Roman Empire, akan mempunyai nomor seperti ini: F30.G35 (G35 adalah nomor pengarang untuk Gibbon).
Sejak kombinasi huruf-huruf tertentu disediakan untuk subjek, maka kemungkinan Cutter menyediakan atau memberikan suatu notasi singkat untuk aspek-aspek tertentu pada disiplin khusus. Contoh: analisa kimia. LOS (L = sains dan seni: LO = kimia; LO = analisa, kimia). Sayang, seperti sudah disebutkan di muka bahwa bagan klasifikasinya belum lengkap, dan Cutter meninggal sebelum klasifikasi ekspansifnya yang ketujuh diterbitkan. Sekalipun demikian, banyak segi-segi terpentingnya yang akhir-akhir ini digunakan dalam formulasi klasifikasi Library of Congress.
Di Indonesia, tampaknya model sistem klasifikasi ekspansif dari Cutter ini tidak atau belum ada yang menggunakannya, juga di banyak perpustakaan yang ada di dunia. Hal ini disebabkan karena sistem klasifikasi ini belum lengkap. Meskipun demikian, prinsip-prinsip klasifikasi Cutter ini banyak mengundang masalah yang perlu dianalisis untuk bahan penelitian di bidang ini secara lebih baik.










Daftar bibliografi:

Hamakonda, Towa dan J.N.B. Tairas. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey. Jakarta: BPK: Gunung Mulya, 1995

Sulistyo-Basuki. Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Wynar, Bohdan S. Introduction to Cataloging and Classification. 6th Ed. Littleton : Libraries Unlimited, 1980

Taylor, Arlene G. The Organization of Information. Westport: Libraries unlimited, 2004

http//LC Classification\Library of Congress Classification - Wikipedia, the free encyclopedia.htm

http//LC Classification\Site Index Library of Congress Classification.htm

http//LC Classification\Library of Congress Classification Outline - Classification - Cataloging and Acquisitions (Library of Congress).htm
http//UDC\Universal Decimal Classification - Wikipedia, the free Encyclopedia.htm

INFORMASI DAN PENGETAHUAN SEBAGAI AKSES MENUJU KEMAKMURAN BERSAMA (Sebuah narasi dari pandangan Habermas hingga Knowledge Management

Ilmu pengetahuan sebagai emansipatoris (emancipatory knowledge) adalah ilmu pengetahuan yang menekankan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk proses humanisasi. Meskipun ilmu pengetahuan selalu bisa ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, seperti politik namun informasi sebagai basis ilmu pengetahuan telah mencapai derajatnya sendiri dan berada di titik jenuh (grey literature) akibat membanjirnya berbagai macam informasi di era digital dewasa ini.
Sebagai dampak globalisasi, internet sebagai salah satu tiang pancang penanda kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyatukan berbagai macam ledakan informasi itu dengan masyarakat luas dalam dunia baru, dunia “maya”. Terjadinya globalisasi ini menurut Habermas karena adanya kepentingan pasar antar industri transnasional, yang mampu membuat infrastruktur baru secara sosial kepada masyarakat, namun ternyata tidak dibarengi dengan kemampuan sebuah negara dalam memberikan kesadaran baru (consciousness) terhadap masyarakat. Adanya kesenjangan masyarakat secara sosial dan ekonomi menunjukkan jika masyarakat sangat terkooptasi dan menjadi sangat personal.
Terlepas dari itu, informasi merupakan salah satu kebutuhan mendasar dan penting dalam kehidupan sekarang ini, terlebih dengan informasi senyatanya mampu menentukan status seseorang dalam masyarakat, siapapun yang menguasai informasi lebih dahulu dialah pemenang yang mengalahkan lainnya, disinilah informasi merupakan power, karenanya agar kehidupan masyarakat menjadi lebih baik simpul-simpul informasi perlu ditunjang dengan perangkat komunikasi yang baik, disamping tentu saja dengan melibatkan emansipasi masyarakat. Komunikasi emansipatoris ini akan dapat berjalan dengan baik, apabila terdapat hubungan yang sinergis antara penyedia berita (provider) dan penerimanya. Seperti halnya perpustakaan, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tujuan utama perpustakaan yaitu menyalurkan, mengakses dan menggunakan informasi, dapat ditingkatkan secara signifikan.
Pada akhirnya masyarakat pengguna yang mengimbangi dengan meningkatkan pengetahuannya dan menjadi literate informasilah yang akhirnya dapat meruntuhkan tembok-tembok kebodohan dan penindasan yang selama ini selalu mendera khususnya bagi kalangan masyarakat yang terpinggirkan dan tersubordinasi. Ketidaktahuan masyarakat sebenarnya terletak pada kurangnya komunikasi yang emansipatoris antara penyedia informasi atau informasi itu sendiri dengan masyarakat di pihak lain. Jika sinergitas antara informasi dan masyarakat dapat dibentuk, maka masyarakat akan dapat menentukan kehidupannya sendiri dengan jelas tanpa ada pembodohan dari pihak lain, disinilah intinya bahwa masyarakat yang tercerahkan dengan informasi akan mampu melangsungkan kehidupannya dengan baik.

Manusia dan Kebebasan Mendapatkan Informasi
Rousseau dan Barlow pernah mengatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan bebas namun dalam banyak hal sering dia hidup dalam keadaan terpenjara. Sehingga apa yang terjadi dalam belahan dunia manapun akan didapati banyak segolongan orang yang hidup dalam keadaan mengenaskan, termarginalisasi, terbelakang dan tak beradab. Salah satu hak utama manusia yang sangat vital adalah hak mengetahui dan mendapatkan informasi. Sampai sekarang inipun tidak dapat dipungkiri masih banyak kalangan yang hidupnya seakan masih terkerangkeng dengan adanya pembatasan-pembatasan hak hidupnya untuk mendapatkan informasi. Sebenarnya pembatasan ini merupakan sebuah kriminal, dalam arti bentuk kejahatan yang dilakukan orang lain ketika tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, dan juga sebagai kriminal negara akibat perilaku suatu bangsa/pemerintahan yang menutup keran informasi bagi warga dan masyarakatnya.
Hak untuk memperoleh informasi pribadi adalah bagian dari martabat dasar manusia yang juga dapat menjadi sangat penting untuk membuat kehidupannya tercerahkan. Dalam arti yang lebih khusus, informasi menurut Martin E. Modell adalah perwakilan atau rekaman ilmu pengetahuan yang berasal dari pembelajaran, pengalaman atau pengarahan. Sehingga untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat informasi memerlukan pengorganisasian tertentu. Selain itu informasi merupakan gabungan yang bersinergi antara data dan pengetahuan yang dikomunikasikan. Maka apabila segala simpul-simpul informasi dan pengetahuan ini dikembangkan dan dimanfaatkan secara maksimal, setiap individu akan kaya dengan informasi baru dan pengetahuan, sebagaimana disebut dengan tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam pikiran seseorang. D.A Kemp. Dalam bukunya “The Nature of Knowledge : an Introduction For Librarians”,menghubungkan pengetahuan pribadi seseorang dengan pengetahuan yang menjadi pengetahuan publik sebagaimana berikut :










Nilai dasar yang menopang hak untuk mendapatkan kebebasan informasi adalah prinsip keterbukaan maksimum, yang menetapkan suatu praduga bahwa semua informasi yang dipegang oleh badan pemerintah sekalipun seharusnya diungkapkan, kecuali dalam keadaan khusus dimana informasi tersebut harus dirahasiakan, tentu saja harus dibarengi dengan bukti untuk tidak mengungkapkannya demi kepentingan masyarakat yang lebih tinggi. Salah satu aspek kebebasan memperoleh informasi yang sering terabaikan adalah pemakaian hak itu untuk mempermudah praktek bisnis yang efektif.
Selama lebih dari 15 tahun terakhir ini, terjadi pertumbuhan yang dramatis dalam hal pengakuan resmi mengenai hak untuk memiliki kebebasan memperoleh informasi. Bahkan berbagai badan internasional, yang mencakup PBB dan sistem regional untuk perlindungan HAM, telah mengakui betapa pentingnya hak itu dan perlunya perundang-undangan untuk menjamin penerapannya. Banyak negara demokrasi baru telah menerapkan konstitusi baru yang secara tegas mengakui hak tersebut. Di negara-negara lain, pengadilan tertinggi telah menafsirkan jaminan-jaminan yang telah lama ada pada konstitusi mereka mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai mengakui hak untuk kebebasan memperoleh informasi.

Informasi dan Pengetahuan
Ilmu pengetahuan sebagai emansipatoris (emancipatory knowledge) adalah ilmu pengetahuan yang menekankan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk proses humanisasi. Proses ini juga dapat dilukiskan an oleh sebuah peribahasa sufi kuno : “Adakah sebuah suara di hutan jika sebuah pohon tumbang dan tidak ada seorangpun yang mendengarnya?”jawabannya tentu saja tidak. Rubuhnya pohon tidak menimbulkan suara jika tidak ada seorangpun yang mendengarnya, adalah yang dimaksud dengan gambaran peribahasa kuno diatas adalah bahwa sebuah pengalaman, dunia kontak antara pengirim dan penerima tidak akan terjadi jika tidak terdapat informasi atau komunikasi.
Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua narasi besar telah muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan. Narasi itu adalah, pertama, kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan akan dapat membawa umat manusia pada kemajuan (progress). Mitos Politik ini menjustifikasi sains sebagai alat untuk kebebasan dan humanisasi. Sejak awal zaman modern, semua orang dianggap berhak untuk mendapatkan pengetahuan, meskipun pada kenyataannya ada rintangan-rintangan dari kaum agamawan, penguasa atau halangan dari kaum laki-laki terhadap perempuan. Melalui ilmu pengetahuan manusia bangkit untuk mengembangkan diri dan meruntuhkan tembok-tembok kebodohan dan penindasan. Dan yang ke dua, narasi yang bersifat filosofis, menggambarkan bahwa “subyek” yang sadarlah (cogito) dan bukan manusia dalam bentuknya yang utuh yang sesungguhnya memungkinkan perkembangan ilmu pengetahuan itu. Dalam pandangan modern, ilmu pengetahuan dikembangkan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, dengan demikian ilmu tidak boleh dimuati bias subyektivitas, nilai-nilai moral atau kepentingan tertentu. Ke dua mitos ini menjadi dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern.
Jean Baudrillard mengemukakan terjadinya perubahan besar dari model mekanis, produksi metalurgi ke suatu industri informasi dan dari produksi ke konsumsi sebagai fokus utama ekonomi. Era di mana berbagai perspektif media baru cenderung mengaburkan perbedaan tajam antara realitas dan fantasi (simulacra), sehingga meruntuhkan suatu keyakinan pada suatu realitas obyektif. Dikotomi modern tentang suatu realitas obyektif versus citra (images) atau citra-citra subyektif sedang diruntuhkan dan digantikan dengan suatu hiperealitas “self-referential signs” (tanda-tanda referensi diri). Pemikir postmodern menggantikan konsepsi tentang adanya suatu realitas independent dari pengamat (observer) dengan mengajukan gagasan keterkaitan subyek dengan dunia (subyek dengan obyek). Lalu bahasa dilihat bukan sekedar bersifat denotative (logosentrisme), bahasa tidak hanya penting dengan fungsi logis/epistemologisnya saja. Pembahasan tentang bahasa berkenaan dengan bagaimana hubungan antara penelaran, makna,kebenaran dan bahasa. Dalam masa pencerahan “rasio” menjadi lambang pengetahuan, sumber kepastian dan dasar bagi kekuasaan. Ini yang kemudian oleh Habermas disebut dengan “Rasio Instrumental” (pengetahuan menjadi alat kekuasaan). Rasio bukan lagi sekedar membedakan manusia dengan binatang (mahkluk infrahuman) akan tetapi membedakan orang berkuasa (orang pintar) dengan rakyat kecil yang dianggap tidak rasional dan bodoh.
Bukan hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa informasi merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam kehidupan sekarang ini. Laju perkembangan informasi sendiri ditentukan oleh dua hal, yaitu adanya pengelolaan informasi yang baik dan efektifnya kegiatan tukar-menukar informasi. Untuk itu perpustakaan sebagai induk informasi yang memiliki berbagai macam jenis dokumen baik tercetak seperti buku, jurnal, reprint, dan sebagainya atau dalam bentuk elektronik seperti audio ataupun audio visual, mau tidak mau harus mengolah informasi yang dimilikinya secara maksimal agar mudah dalam menyimpan dan menemukannya kembali disaat dibutuhkan. Adanya pengetahuan individual yang dibukukan atau direkam dalam sebuah media akan menjadi pengetahuan sosial atau publik dan dapat dipelajari dan dicerna oleh siapapun juga, sehingga terjadi hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan membentuk pengetahuan-pengetahuan baru.
Dalam lingkungan perpustakaan era globalisasi sekarang ini, informasi merupakan hal yang lebih penting dan sangat diperhatikan dari pada yang terjadi sebelumnya. Teknologi telah berkembang dengan sangat cepat untuk memasukkan layanan dan sistem yang lebih luas yang membuat sebuah perpustakaan untuk mengorganisir informasi yang diciptakan secara lokal dan akses informasi yang tersebar secara global. Sehingga menjadi sangat penting untuk mengembangkan dan mengidentifikasi sistem dan layanan mana yang paling baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, internet dan elektronika, dan berkembang pesatnya ICT, dan khususnya www, telah memberikan ruang akses informasi seluas-luasnya bagi masyarakat di seluruh dunia, keadaan ini juga terjadi dalam dunia perpustakaan, baik perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan nasional, perpustakaan asosiasi professional dengan beramai-ramai mempopulerkan dan mendirikan dan meluaskan ranah pelayanannya dengan cara membentuk apa yang disebut sebagai Digital Library, atau Perpustakaan Digital. Layanan ini bertumpu pada sebuah sistem yang memiliki berbagai pelayanan dan obyek informasi yang mendukung pemakai yang menggunakan informasi tersebut melalui perangkat digital atau elektronik.
Tujuan utama perpustakaan digital menurut Tedd dan Large paling tidak diwakili oleh tiga karakteristik utama yaitu :
1. Memakai teknologi yang mengintegrasikan kemampuan untuk menciptakan, mencari, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk di dalam sebuah jaringan digital yang tersebar luas
2. Memiliki koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data, baik di lingkungan internal maupun eksternal
3. Merupakan kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya digital yang dikembangkan bersama-sama komunitas pemakai jasa untuk memenuhi kebutuhan informasi komunitas tersebut. Oleh sebab itu, perpustakaan digital merupakan integrasi berbagai institusi, seperti perpustakaan, museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola, merawat, dan menyediakan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.

Beberapa dekade yang lalu masyarakat hanya dapat mengandalkan koleksi tercetak dengan cara membelinya di toko buku. Otoritas penerbit sangat besar dalam menyebarkan informasi-informasi itu, dan perpustakaan menjadi kolega bisnis serta berperan besar. Namun dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi maka mulai timbul paradigma baru bahwa ketersediaan informasi dapat diakses dimana saja, kapan saja tanpa dibatasi ruang dan waktu (borderless).
Maka untuk memperoleh pemanfaatan yang maksimal perlu dibentuk semacam konsensus dan saling pengertian kedua belah pihak (perpustakaan dan masyarakat pengguna), agar tidak terjadi tumpang tindih atau kesimpangsiuran informasi, di satu pihak perpustakaan berperan dalam usaha memberikan informasi yang benar dan dibutuhkan masyarakat pengguna dan sebaliknya masyarakat pengguna akan mendapatkan kemudahan-kemudahan akses terhadap informasi yang benar-benar dibutuhkannya. Hal yang dilakukan adalah perpustakaan memberikan kemudahan akses informasi dan masyarakat pengguna mengimbanginya dengan meningkatkan kemampuannya sehingga konsep literasi informasi dapat terwujud.

Manajemen Berbagi Pengetahuan
Dalam satu dasawarsa terakhir pengelolaan pengetahuan (knowledge management),menjadi salah satu metode peningkatan produktifitas suatu organisasi, perusahaan atau instansi. Knowledge manajemen merupakan istilah yang dipakai oleh Wiig pada tahun 1986, dalam salah satu tulisannya “Knowledge Management Foundations yang diterbitkan pada tahun 1993, pada dasarnya knowledge Management merupakan suatu proses transformasi sumber/aset pengetahuan dan intelektual untuk kemajuan bersama. Lebih jauh Carl Davidson dan Philip Voss mengatakan bahwa mengelola knowledge sebenarnya merupakan seni organisasi dalam mengelola staf mereka, atau mengatur bagaimana orang-orang dari berbagai tempat yang saling berbeda mulai saling bicara.
Manajemen ini dipandang sebagai langkah yang tepat karena dalam persaingan global seperti sekarang ini kompetisi tidak lagi hanya mengandalkan sumber daya alam, tetapi berpindah kepada pemanfaatan sumber daya manusia secara optimal, sehingga dapat meningkatkan produktivitas suatu organisasi/lembaga bisnis. Berbagi pengetahuan (knowledge sharing) merupakan salah satu metode dalam knowledge management yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada anggota suatu organisasi, instansi atau perusahaan untuk berbagi ilmu pengetahuan, teknik, pengalaman dan ide yang mereka miliki kepada anggota lainnya. Berbagi pengetahuan hanya dapat dilakukan bilamana setiap anggota memiliki kesempatan yang luas dalam menyampaikan pendapat, ide, kritikan, dan komentarnya kepada anggota lainnya. Disinilah peran berbagi pengetahuan dikalangan karyawan menjadi amat penting untuk meningkatkan kemampuan karyawan agar mampu berpikir secara logis dan mengahasilkan inovasi.
Davenport dan Prusak memberikan metode mengubah informasi menjadi pengetahuan melalui kegiatan yang dimulai dengan huruf C : comparation, consequences, connections dan conversation. Dalam organisasi, pengetahuan diperoleh dari individu-individu atau kelompok orang-orang yang mempunyai pengetahuan,atau kadang kala dalam rutinitas organisasi. Pengetahuan diperoleh melalui media yang terstruktur seperti: buku, dokumen,hubungan orang ke orang yang berkisar dari pembicaraan ringan sampai ilmiah. Pengetahuan merupakan suatu yang eksplisit sekaligus tacit, beberapa pengetahuan dapat dituliskan di kertas, diformulasikan dalam bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Namun ada pula pengetahuan yang terkait erat dengan perasaan, keterampilan, dan bentuk bahasa utuh, presepsi pribadi, pengalaman fisik, petunjuk praktis, dan intuisi, dimana pengetahuan terbatinkan seperti itu sulit sekali digambarkan kepada orang lain. Penciptaan pengetahuan secara efektif tergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut yaitu konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaaan pengetahuan yang dimunculkan oleh hubungan hubungan.
Berbagi pengetahuan hanya dapat dilakukan bilamana setiap anggota memiliki kesempatan yang luas dalam menyampaikan pendapat, ide, kritikan dan komentarnya kepada anggota lainnya. Sebagain besar situs portal suatu organisasi, instansi atau perusahaan telah menggunakan fitur forum diskusi (discussion forum) untuk memberikan kesempatan yang luas kepada anggotanya dalam menyampaikan kesulitan yang dihadapi dalam pekerjaannya, ide-ide yang timbul untuk meningkatkan produktifitas pekerjaannya, kritikan dan saran terhadap organisasi dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Berbagai pengetahuan dapat tumbuh dan berkembang apabila menemukan kondisi yang sesuai, sedangkan kondisi tersebut ditentukan oleh tiga faktor kunci yaitu: orang, organisasi dan teknologi . Sebab berbagi pengetahuan dianggap sebagai hubungan atau interaksi sosial antar orang per orang, sedangkan permasalahan organisasi memiliki dampak yang besar bagi berbagi pengetahuan, dan teknologi informasi dan komunikasi merupakan fasilitatornya.

Penutup

Informasi dan pengetahuan merupakan senyawa yang apabila ditransformasikan kepada individu akan memberikan nilai yang sangat besar. Ketika seseorang lahir di dunia, secara hak dia memiliki bermacam hak asasi yang tidak boleh dilanggar, pelanggaran terhadap hak-hak ini dikategorikan sebagai tindakan kriminal, termasuk di dalamnya adalah hak mendapatkan informasi, dan pengetahuan. Adanya ke dua unsur ini akan membantu seseorang individu, kelompok, bangsa dalam menemukan jati diri yang diharapkan, dalam arti dapat memberikan manfaat yang luar biasa dalam kegiatan hidup mereka, baik secara sosial, politik, ekonomi, bisnis maupun intelektual, bahkan akan berujung pada satu tahapan tertinggi yaitu wisdom atau kebijaksanaan. Seseorang yang telah dan mampu menempati ranah tersebut diyakini menjadi individu yang tercerahkan, baik secara pribadi maupun sosial kemasyarakatan.









Daftar bibliografi


Davenport, Thomas H and Prusak,L Working Knowledge : How Organizations Manage What They Know. Boston: Harvard Business School Press, 1998

Habermas, Jurgen, a Conversation about God and the World, Interview with Eduardo Mandieta, dalam Religion and Rationality : Essays on Reason, God and modernity, Cornwall : MIT press, 2002

Lubis, Akhyar Yusuf, Setelah Kebenaran dan Kepastian dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak bagi Ilmuwan ; Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis, Bogor:AkaDemia, 2004

Lubis, Akhyar Yusuf, Dekonstruksi Epistemologi Modern : Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, hingga Cultural Studies, Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, 2006

Modell, Martin E., Data Analysis, Data Modeling, and Classification.New York:McGraw-Hill,1992

Mendel, Toby, Kebebasan Memperoleh Informsai : Sebuah Survey Perbandingan Hukum.Jakarta : Unesco, 2004

Sardar, Ziauddin, Tantangan Dunia Islam Abad 21 : Menjangkau Informasi, Bandung : Mizan, 1991

Singh, Shashi Prabhi, What are We Managing- Knowledge or Information? Dalam The Journal of information and Knowledge Management Systems, Vol 37 No. 2, 2007

Tedd, Lucy A and Andrew Large, Digital Libraries : Principal and practices in a global Environment, Munchen : K.G. Saur, 2005 (dikutip dari Putu Laxman Pendit dalam Kepustakawanan Indonesia dan Teknologi Informasi(Konteks Sekaligus Habitus Bagi Pengembangan Ilmu), Makalah Workshop Rencana Pembukaan Program Doktor Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Universitas Padjajaran, Bandung 4 Nopember 2007